*Gus Thoriq, Pengasuh Ponpes Babussalam
Ditetapkannya Hari Santri untuk diperingati setiap tahun menjadi sejarah bagi Indonesia. Sebab, selain untuk menjelaskan keberadaan santri di Indonesia, juga untuk menerangkan peran santri dalam pembangunan negeri ini….
—————————
Namun ternyata, dari informasi yang dihimpun, penetapan Hari Santri juga memiliki keterkaitan dengan Presiden Joko Widodo. Bahkan penetapan Hari Santri menjadi satu kontrak politik Presiden Joko Widodo dalam pencalonannya periode pertama, tahun 2014.
“Itu menjadi satu kontrak politik saat beliau (Presiden Joko Widodo) mencalonkan diri sebagai presiden periode pertama 2014. Tujuannya untuk mendongkrak elektabilitasnya, sasarannya, kalangan santri,” ujar inisiator Hari Santri, Thoriq bin Ziyad.
Menurut pria yang akrab disapa Gus Thoriq ini, pada saat pencalonan Jokowi tersebut, tepatnya sekitar H-10 pencoblosan, elektabilitas paslon Joko Widodo masih terbilang minim.
Dengan jaringan politik yang dimiliki oleh Gus Thoriq yang saat itu juga aktif sebagai politisi, ia menyarankan untuk menetapkan hari santri jika terpilih menjadi presiden. Dirinya juga menyarankan agar hal itu juga dideklarasikan.
“Itu beliau (Joko Widodo) bersumpah. Dengan nama Allah bilangnya. Dan disaksikan banyak orang,” imbuh pria yang juga menjadi pengasuh pondok pesantren (Ponpes) Babussalam ini.
Bukan serta merta seperti sebuah kontrak politik saja. Gus Thoriq sendiri sebenarnya memperjuangkan Hari Santri sejak tahun 2009. Namun dengan kondisi yang ada di Indonesia seperti saat ini, dirinya pun memilih memperjuangkannya dengan jalur politik.
“Hal ini sebenarnya sudah saya pikirkan sejak tahun 2009. Menimbang segala hal, akhirnya coba saya perjuangkan lewat jalur politik. Saat itu saya di partai biru, partai penguasa saat itu. Lalu saya pindah ke partai merah memang untuk memperjuangkan ini. Dan harusnya seperti itu. Seperti sejarah masuknya Islam di Indonesia itu bukan dengan tumpah darah, namun dengan diplomasi yang ‘cantik’,” tegas Gus Thoriq.
Lebih lanjut dirinya menyebut, sebenarnya yang diusulkan untuk ditetapkan sebagai Hari Santri adalah setiap tanggal 1 Muharam. Sedangkan saat ini, Hari Santri diperingati setiap tanggal 22 Oktober.
“Ya mungkin memang jadinya seperti ini. Sekarang kan kalau dilihat dan dirasakan, setiap menjelang satu Muharram, Indonesia selalu dihadapkan pada sebuah gejolak. Mungkin ini penyebabnya,” ujar Gus Thoriq sambil tertawa ringan.
Namun hal tersebut tidak lantas membuatnya kecewa. Dirinya tetap bersyukur bahwa akhirnya Hari Santri bisa diperingati setiap tahun. Menurutnya, paling tidak saat ini keberadaan santri di Indonesia sudah diakui. Dan dampak positifnya juga dapat dirasakan berbagai pihak. Tidak hanya bagi kalangan santri.
“Saya tidak ingin menjadi manusia yang tidak bersyukur. Artinya, saat ini dampaknya Hari Santrisudah bisa dirasakan. Ponpes di Indonesia sudah mulai mendapat perhatian pemerintah. Dianggarkan dana juga. Anggota DPR, staf pemerintahan, anggota TNI-Polri juga banyak yang jebolan pondok pesantren. Dan itu secara tidak langsung juga berdampak pada sistem kenegaraan. Mungkin, jika tidak ada santri di sistem kenegaraan, dengan kondisi saat ini Indonesia sudah akan ‘chaos’,” terang pria kelahiran tahun 1976 ini.
Sementara saat ini, dirinya tengah memperjuangkan agar Indonesia mempunyai doa resmi kenegaraan. Yang menurutnya hal itu juga akan berdampak positif bagi bangsa Indonesia.
“Dan mungkin, dengan jalur yang sama saya memperjuangkannya. Yakni jalur politik. Ya otomatis saya harus terjun ke dunia politik lagi. Tapi untuk doa kenegaraan, bayangkan saja, kalau dibacakan setiap ada acara kenegaraan. Entah di tingkat Istana, atau hingga di daerah. Pasti fadhillahnya luar biasa,” pungkasnya. (riz/jan)