Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak pada 9 Desember 2020, kurang delapan hari. Namun banyak akademisi dan pengamat politik menilai bakal melahirkan demokrasi yang cacat. Salah satunya, Arbi Sanit, pengamat politik yang juga dosen Universitas Indonesia. Ia memprediksi masih akan terjadi banyak kecurangan.
—————————————
“Banyak terjadi kecurangan di situ,” kata Arbi Sanit. Ia menambahkan, kecurangan itu disebabkan masyarakat dengan terpaksa melakukannya. Kondisi ekonomi yang membuat kebanyakan orang mau menerima politik uang.
“Yang diberikan sangat butuh uang, yang memberi haus dengan kemenangan. Jadi saling membutuhkan di situ,” katanya.
Peran Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) kata Arbi, sangat kecil melakukan penindakan. Karena, untuk menghalanginya kemungkinan kecil berjalan. Sebab, permainan curang ini saling berkepentingan.
“Banyak caranya. Ada operasi Subuh. Dititipkan oleh perantara atau bisa dititipkan di sebuah warung. Jadi banyak caranya politik uang terjadi,” ujarnya.
Sebenarnya, sanksi dalam perkara itu, kata Arbi ada dua. Pidana dan sanksi administratif. Bagi calon yang terbukti melakukan politik uang akan didiskualifikasi pencalonannya. Dan bagi masyarakat yang menerima bisa dipidanakan.
Terlebih lagi, aksi buzzer yang kini sudah mulai trend. Menurut dia, peran Bawaslu juga sangat kecil. Karena, tidak memiliki alat yang banyak untuk menangkap seluruh akun di media sosial.
“Kalau pun bisa oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi. Itupun membutuhkan waktu lama,” katanya.
Selain itu, Arbi Sanit juga menyoroti politik dinasti. Ini menyikapi majunya anak, menantu Presiden RI dan Wakil Presiden RI di pilkada 2020. Ia berpendapat, di negara maju pun dinasti politik juga terjadi.
Namun di negara tersebut, politik dinasti berguna membantu pembentukan kepemimpinan dan pemimpin politik, seperti John F Kennedy.
Karena itu, politik dinasti tidak mendistorsi demokrasi. Bila proses pembentukannya mandiri. Tidak menggunakan pengaruh, apalagi otoritas (kekuasaan) penguasa. Disinilah persoalan dinasti politik di Indonesia.
Cendrung ada penyalahgunaan (korupsi) kekuasaan politik. Ia menjelaskan, praktek dinasti yang dilakukan bisa merusak budaya politik generasi muda. Lebih dari itu, bisa merosotkan kepercayaa dan penghormatan. Setidaknya kalangan publik Indonesia.
Karena itu kemenanangannya, akan mengalami kecurigaan dan ketidakpercayaan politik. “Maka akan membahayakan masa depan demokrasi lokal dan Indonesia,” tutupnya. (Idp-jan)