Malang – Hari Tolerasi Internasional dimaknai Duta Damai Jawa Timur. Mereka melakukan Safari Lintas Iman. Ini dilakukan untuk menggaungkan sikap toleransi pada masyarakat. Jumlah peserta dibatasi, karena masih pandemi covid-19. Namun, tak mengurangi semangat beraktivitas di era new habit ini.
Safari ini merupakan salah satu agenda yang bertujuan meningkatkan toleransi antar umat beragama dan penganut kepercayaan. Hari Toleransi Internasional, menjadi titik dimana umat manusia di dunia, dituntut mengupgrade rasa saling menghargai. Terlebih di Indonesia dengan ragam budaya dan kepercayaannya.
“Pada dasarnya, yang harus dipahami adalah, keyakinan itu hak asasi. Paling asasi di negara yang majemuk dan tidak dapat dipaksakan. Sehingga di sinilah nilai toleransi dalam diri, harus terus ditingkatkan,” ungkap Monica, Koordinator Pelaksana.
Safari mengunjungi lima tempat peribadatan di Kota Malang. Perjalanan dimulai dengan titik kumpul awal di Masjid Sabilillah. Masjid ini merupakan monumen yang dibangun untuk memperingati dan mengenang perjuangan Laskar Sabilillah. Barisan pejuang ulama dan santri, yang ikut bertempur melawan sekutu.
Kota Malang menjadi pusat Laskar Sabilillah. Di lahan masjid ini, berkumpulnya para laskar sebelum berangkat ke pertempuran Surabaya. Dipimpin KH Masjkur. Maka, untuk menjaga marwah dan mengenang Malang Kota Pejuang, didirikanlah masjid dengan nama seperti laskar pejuang tersebut. KH Masjkur, sang pendiri menjadi Pahlawan Nasional sejak 2019.
Rumah ibadah kedua yang dikunjungi, Sanggar Candi Busana Sapta Darma di Arjosari. Salah satu dari ratusan penghayat kepercayaan yang ada di Indonesia. Sejak tahun 2017, Penghayat diakui Pemerintahan RI, sebagai salah satu kepercayaan masyarakat. Tiba di lokasi, peserta Safari Lintas Iman disambut hangat.
Hadir pula Presidium Majelis Luhur Kepercayaan Terhadap Tuhan YME Indonesia (MLKI) Jawa Timur, Djayusman. Peserta mendapat penjelasan tentang Penghayat Kepercayaan. Perjalanan dilanjut ke Klenteng Tridharma Eng An Kiong. Rumah ibadah yang sarat nilai toleransi antar agama. Herman, Wakil Ketua Klenteng bersama pengurus lainnya, menjelaskan banyak hal terkait toleransi beragama.
Klenteng ini, menjadi rumah ibadah tiga agama. Yakni Tao, Budha Mahayana dan Konghuchu. Mungkin awam beranggapan klenteng ini, rumah ibadah Konghuchu saja. Namun, sejarah menjelaskan, di Cina agama tertua adalah Tao. Kemudian masuk Budha, lalu Konghuchu. Ini yang mendasari adanya tiga agama di klenteng ini.
Kunjungan selanjutnya di kawasan Jl Dieng. Pura Marga Shirsa. Rumah ibadah Hindu. Rombongan Duta Damai disambut Made Suyatna, perwakilan dari PHDI (Parisada Hindu Dharma Indonesia) Malang. Bertepatan dengan ibadah bulanan, saat bulan mati atau akan muncul bulan baru.
“Pura tidak dibangun di sembarang tempat. Karena menjadi tempat ibadah yang mengharuskan ketenangan dan ketentraman batin. Maka dipilihlah tempat sepi yang terpencil seperti ini. Atau bisa juga di pegunungan,” ujar Made Suyatna.
Setelah itu, peserta menuju GKJW Kebon Agung. Namun, karena masih sangat ketat protokol kesehatannya, dialihkan ke Kopi Kebon. Bagian dari GKJW. Dialog di warung kopi ini, jadi lebih santai. Dipandu pemuda GKJW, Evan dan Pendeta Teguh, dialog berlangsung ganyeng dan hangat. Membahas teologi dan upaya membangun gerakan toleransi GKJW Kebon Agung.
Tak lupa, peserta juga mengunjungi Gereja Santo Albertus de Trapani. Berada tepat di sebelah timur masjid Sabilillah. Gereja dan masjid ini, hanya terpisah jembatan penyeberangan. Ini menandakan masyarakat Malang tingkat toleransinya sangat tinggi sejak dulu. Hidup berdampingan tanpa mempermasalahkan perbedaan. (ags/jan)