MALANG POST – Di tengah gencarnya transisi energi menuju zero carbon emission, bahan bakar alternatif mulai ramai diperbincangkan. Salah satunya adalah etanol (C2H5OH), senyawa kimia yang kini digadang-gadang mampu menjadi pengganti bensin di masa depan.
Menariknya, belakangan ini banyak pro kontra yang lahir dari masyarakat mengenai penggunaan campuran etanol. Terkait hal ini, Dosen Teknik Mesin Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Ir. Iis Siti Aisyah, S.T., M.T., Ph.D, turut memberikan pandangannya terkait penggunaan etanol dalam bahan bakar kendaraan di Indonesia.
Iis, sapaan akrabnya, mengatakan bahwa etanol merupakan bentuk biofuel yang menjanjikan karena memiliki sifat pembakaran yang lebih bersih dibandingkan bensin murni. Secara teoritis, emisi karbonnya bisa ditekan secara signifikan jika digunakan dalam proporsi yang tepat.
“Etanol itu energi alternatif yang dikembangkan berbasis bio, yaitu tanaman yang diproses. Etanol bagus untuk meningkatkan angka oktan. Jika digunakan dalam jangka pendek, akan baik.”
“Namun jika digunakan dalam jangka panjang, etanol dapat merusak komponen combustion chamber seperti karet, serta menimbulkan korosi pada logam yang tidak tahan air, dan hal-hal lainnya,” katanya.
Di balik keunggulannya, etanol juga menyimpan sejumlah tantangan teknis dan ekonomis. Secara ilmiah, etanol memiliki densitas energi lebih rendah (26.8 MJ/kg) dibanding bensin (46 MJ/kg). Sehingga, menambahkan etanol ke Pertalite akan menurunkan nilai energi per liter campuran dibandingkan Pertalite murni.
Adapun kelebihan penggunaan etanol adalah sebagai sumber energi terbaharukan, tingkat komersialisasi yang tinggi, serta kemampuannya diproduksi secara massal dari tanaman tebu yang telah banyak dibudidayakan di Indonesia.
Meski begitu, etanol memiliki octane number tinggi (100+) dibanding Pertalite (92), membuatnya lebih tahan terhadap knocking dan cocok untuk mesin modern berkompresi tinggi. Namun, campuran etanol dan Pertalite tidak disarankan bagi mesin lama dengan karburator karena memerlukan penyetelan ulang dan berisiko menyebabkan overheating dalam jangka panjang.
Tantangan lain muncul dari sifat etanol yang higroskopis, yaitu mudah menyerap air. Proses pemurnian agar etanol benar-benar bebas air memerlukan teknologi mahal, yang berdampak pada harga jualnya.
Harga etanol tipe anhidrat saat ini memang masih sedikit di atas Pertalite atau Pertamax, sehingga perlu insentif agar tetap kompetitif. Dari sisi mesin, etanol sebenarnya tidak menimbulkan kerusakan serius.
Pada mesin modern yang telah dilengkapi Electronic Control Unit (ECU), sistem dapat menyesuaikan pembakaran secara otomatis. Untuk mesin lawas, pengguna perlu memperhatikan potensi overheat.
“Meskipun ada kekhawatiran tersebut, berdasarkan penelitian, campuran hingga 10% etanol tidak terlalu mempengaruhi mesin lama meskipun memakai karburator. Modifikasi terhadap engine hanya diperlukan jika memakai 100 % etanol,” ungkapnya.
Ke depan, Iis optimistis bahwa masa depan etanol di Indonesia cukup cerah. Sumber energi lain seperti biobutanol yang diproduksi dari tanaman belum se-masif industri etanol.
“Harapan terhadap penggunaan etanol ke depan adalah kita bisa lebih mandiri secara energi, asalkan etanol yang digunakan berasal dari sumber-sumber yang ada di dalam negeri. Penggunaan bahan bakar yang sangat besar akan memerlukan pasokan etanol yang besar juga, sehingga industri di Indonesia yang selama ini memasok etanol untuk bidang lain (kesehatan) perlu memperbesar kapasitas produksinya,” tutupnya. (M Abd Rachman Rozzi-Januar Triwahyudi)




