MALANG POST – Upaya menekan kasus tuberkulosis (TBC) di Kota Batu terus digeber. Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Batu tak ingin setengah hati dalam melawan penyakit menular yang masih menjadi momok di banyak daerah itu.
Kamis (30/10/2025), seluruh anggota Tim Percepatan Penanggulangan TBC (TP2TBC) dikumpulkan dalam forum pembekalan dan penyusunan program kerja TP2TBC Kota Batu di Hall Kusuma Agrowisata.
Tak sekadar duduk bersama, forum itu juga membahas penyusunan Rencana Aksi Daerah (RAD) TBC, panduan kerja lima tahun ke depan agar langkah pemberantasan penyakit ini makin terarah, terukur dan sesuai kondisi lapangan.
Beragam unsur ikut dilibatkan. Mulai dari perangkat daerah lintas sektor, puskesmas dan rumah sakit se-Kota Batu, TP PKK, perangkat desa dan kelurahan, organisasi masyarakat, Baznas, BPJS dan lainnya.
Kepala Dinkes Kota Batu, Aditya Prasaja menegaskan, bahwa kegiatan ini merupakan penguatan komitmen lintas sektor dalam menekan penyebaran TBC. Sebab, selama ini isu kesehatan sering dianggap urusan Dinkes semata. Padahal, penanganannya membutuhkan kolaborasi semua pihak.
“Selama ini TBC dianggap hanya urusan Dinkes, padahal tidak bisa lepas dari peran dan dukungan pihak lain. Karena yang dihadapi bukan sekadar penyakit, tapi juga perilaku dan kesadaran masyarakat,” ujar Adit sapaanya.
Menurutnya, meningkatnya angka temuan kasus justru bukan kabar buruk. “Semakin banyak ditemukan, artinya semakin cepat kita bisa mengobati. Itu indikator baik, karena penularan bisa dihentikan,” tambahnya.

Kepala Dinkes Kota Batu, Aditya Prasaja. (Foto: Ananto Wibowo/Malang Post)
Justru yang berbahaya, kata dia, jika kasus TBC sedikit ditemukan. Sebab bisa jadi banyak penderita yang tidak terdeteksi dan tetap beraktivitas seperti biasa, tanpa sadar malah menularkan bakteri ke lingkungan sekitar.
Namun, di lapangan tidak selalu mudah. Salah satu tantangan besar adalah pasien yang enggan berobat atau tidak menuntaskan pengobatan. Padahal tenaga medis dan fasilitas layanan sudah siap.
“Ada pasien yang berhenti di tengah jalan karena bosan atau merasa sudah sembuh. Padahal kalau berhenti, bakteri bisa bermutasi dari yang sensitif menjadi resisten obat. Kalau TBC biasa cukup enam bulan pengobatan, tapi kalau sudah resisten bisa sampai dua tahun,” terang Adit.
Selain itu, stigma masyarakat terhadap TBC juga masih tinggi. Banyak yang menolak diagnosa, malu diketahui tetangga, bahkan ada yang kabur saat masa pengobatan. Tak sedikit pula pasien yang enggan menjalani pemeriksaan kontak erat, padahal itu penting untuk mencegah penularan.
“Minimal satu rumah harus mau diperiksa. Tapi sering kali yang sakit saja menutup-nutupi, apalagi anggota keluarganya,” ungkap Adit.
Berdasarkan data Dinkes Kota Batu, saat ini terdapat 270 pasien TBC yang tengah ditangani. Rinciannya 185 orang masih menjalani pengobatan, 66 orang sembuh dengan pengobatan lengkap, 17 meninggal dan dua orang putus berobat.
Dari data itu, lanjut Adit, terlihat jelas bahwa pasien yang mengikuti pengobatan sesuai standar bisa sembuh total. Daerah dengan kasus terbanyak masih didominasi kawasan padat penduduk dan perkotaan.

Melihat situasi tersebut, penyusunan RAD dianggap penting sebagai panduan strategis lima tahun ke depan. “RAD ini nanti akan menjadi guideline penanganan TBC di Kota Batu, apa yang harus dilakukan, siapa yang berperan, berbasis data dan analisis lokal,” imbuhnya.
Kota Batu ditargetkan sudah memiliki RAD TBC sebelum akhir tahun ini. Sebab, hingga kini Kota Batu masih menjadi salah satu daerah di Jawa Timur yang belum memiliki dokumen tersebut.
Sementara itu, Kepala Bidang Pencegahan, Pengendalian Penyakit dan Penanganan Bencana Dinkes Kota Batu, dr. Susana Indahwati menambahkan, seluruh satgas dan tim di lapangan akan mendapat pembekalan teknis.
“Tujuannya supaya ketika ada temuan kasus di desa, pemdes tahu langkah yang harus diambil. Karena selama ini banyak masyarakat yang belum aware terhadap TBC,” terang Susan.
Ia juga menyebutkan, masih banyak warga yang enggan melapor jika terkena TBC. Padahal, ketika ada satu kasus, semua anggota keluarga seharusnya menjalani skrining. Namun kenyataannya, banyak yang menolak atau menutupi status penyakit tersebut.
Padahal pasien TBC wajib menjalani karantina minimal dua bulan pertama. Setelah empat bulan berikutnya, jika sudah tidak menular, barulah diperbolehkan kembali beraktivitas.
“Dengan adanya satgas yang terlatih, kami berharap kesadaran masyarakat meningkat. Pemerintah desa juga bisa aktif mengedukasi warganya agar tidak menyepelekan TBC,” imbuhnya.
Wakil Wali Kota Batu, Heli Suyanto menegaskan, pentingnya pembentukan RAD sebagai rujukan daerah untuk memperkuat langkah penanggulangan TBC. “Untuk penuntasan masalah TBC, perlu langkah cepat dan dukungan kebijakan hingga level daerah,” tegas Heli.
Ia juga membeberkan capaian Kota Batu hingga Oktober 2025, yakni 48,77 persen penemuan kasus dengan inisiasi pengobatan mencapai 86,40 persen. “Ini menunjukkan komitmen kuat Kota Batu dalam mendukung target nasional menuju Indonesia bebas TBC. Harapannya, masyarakat makin sadar bahwa TBC bisa sembuh asal disiplin berobat,” pungkasnya. (Adv/Ananto Wibowo)




