
MALANG POST – Dentuman musik tradisional berpadu dengan tabuhan jedor dan lenggak-lenggok penari berselendang menghiasi Amphiteater Sendratari Arjuna Wiwaha. Ratusan warga memadati area pertunjukan untuk menyaksikan Festival Sanduk 2025
Pesta budaya itu menegaskan bahwa kesenian tradisi Kota Batu masih hidup dan terus menari di tengah zaman serba digital. Ya, Tari Sanduk, seni tari khas yang tumbuh dari kultur Madura dan telah berakar di Bumi Batu, kini kembali bersinar.
Tak lagi hanya dimainkan oleh para sesepuh, tapi juga mulai digemari generasi muda. Sebuah tanda bahwa tradisi ini bukan sekadar kenangan masa lalu, tapi identitas yang terus berdenyut.
Kabid Kebudayaan Dinas Pariwisata (Disparta) Kota Batu, Sintiche Agustina mengungkapkan, tahun ini menjadi momen bersejarah bagi kesenian Sanduk. Pasalnya, Disparta telah mengusulkan Tari Sanduk sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) ke Kementerian Kebudayaan.
“Usulan kami sudah ditanggapi positif. Bahkan sudah masuk tahap sidang penetapan. Tinggal menunggu penyerahan sertifikat WBTB. Makanya kami wajib terus melestarikan, salah satunya lewat festival ini,” tuturnya.
Festival Sanduk tahun ini diikuti 26 kelompok Tari Sanduk dari seluruh desa dan kelurahan di Kota Batu. Tak ada konsep lomba. Semua peserta mendapat panggung dan apresiasi. Masing-masing grup memperoleh uang pembinaan dan piagam penghargaan sebagai bentuk dukungan agar semangat menari tak pernah padam.
“Ini bukan soal menang atau kalah. Kami ingin festival ini jadi ruang ekspresi dan aktualisasi. Semua penari punya kesempatan untuk unjuk karya,” tambah Iche.

MENARI: Sebanyak 26 kelompok kesenian tari sanduk di Kota Batu saat menari-nari unjuk kebolehan dalam Festival Sanduk 2025. (Foto: Ananto Wibowo/Malang Post)
Paguyuban Sanduk se-Kota Batu menjadi motor utama dalam perhelatan ini. Mereka menjadi payung bersama bagi para seniman tradisi, menjaga harmoni antargrup sekaligus membuktikan bahwa budaya bisa tetap guyub di tengah hiruk pikuk pariwisata.
Di tengah dingin udara Kota Batu, langkah-langkah penari Sanduk seperti mengirim pesan tradisi bukan untuk disimpan di lemari sejarah, tapi terus ditarikan agar hidup dalam denyut generasi masa kini.
Sementara itu, Kepala Disparta Kota Batu, Onny Ardianto menyampaikan, Tari Sanduk sebagai ikon budaya yang tak tergantikan. Menurutnya, kesenian ini lahir dari akulturasi panjang dan sudah menjadi bagian dari denyut kehidupan masyarakat Batu.
“Sanduk ini punya akar kuat dari kultur Madura, tapi berkembang dan bertransformasi menjadi jati diri Kota Batu. Hampir setiap acara di sini pasti ada pertunjukan Sanduk. Ini ikon yang harus dijaga kelestariannya,” ujar Onny.
Lebih jauh, Onny menegaskan bahwa pihaknya berkomitmen menjadikan kesenian tradisi sebagai daya tarik wisata budaya. Salah satunya dengan menghadirkan berbagai pertunjukan rutin di Sendratari Arjuna Wiwaha, yang menjadi ruang pertunjukan megah dan kebanggaan baru Kota Batu.
“Sendratari Arjuna Wiwaha kami siapkan sebagai ruang ekspresi para pelaku seni tradisi. Mereka butuh tempat representatif untuk tampil dan diapresiasi. Ini juga bagian dari strategi kami untuk mengembangkan destinasi wisata budaya,” terangnya.
Nama Arjuna Wiwaha sendiri, kata Onny, tak dipilih sembarangan. Selain terinspirasi dari Gunung Arjuna yang menjulang di utara Kota Batu, nama itu juga diambil dari lakon pewayangan klasik yang sarat nilai perjuangan dan keutamaan.
“Kami ingin Batu punya ikon pentas budaya seperti Yogyakarta dengan Ramayananya, atau Bali dengan Tari Kecaknya. Di Batu, nanti akan ada Sendratari Arjuna Wiwaha,” tutup Onny. (Ananto Wibowo)