
Kabid Pencegahan, Pengendalian Penyakit, dan Penanganan Bencana Dinkes Kota Batu, dr. Susana Indahwati. (Foto: Ananto Wibowo/Malang Post)
MALANG POST – Angka kehamilan remaja di Kota Batu masih cukup tinggi dan menjadi perhatian serius. Berdasarkan catatan Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Batu, sepanjang 2024 tercatat 43 kasus kehamilan remaja dan 111 kasus persalinan pada usia remaja.
Alih-alih mereda, tren itu berlanjut di 2025. Hingga April kemarin, sudah ada 31 kasus kehamilan dan 21 kasus persalinan pada remaja. Bahkan, ada yang dialami anak berusia 14 dan 15 tahun.
“Bisa dibayangkan, anak SMP sudah harus melahirkan bayi,” ungkap Kabid Pencegahan, Pengendalian Penyakit, dan Penanganan Bencana Dinkes Kota Batu, dr. Susana Indahwati, Jumat (12/9/2025)
Fenomena ini sejalan dengan data nasional. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI mencatat, setiap tahun ada sekitar 15 juta remaja usia 15–19 tahun melahirkan, 4 juta melakukan aborsi dan hampir 100 juta remaja terinfeksi Penyakit Menular Seksual (PMS) yang sebenarnya bisa dicegah.
Melihat tren yang mengkhawatirkan itu, Dinkes Kota Batu menggandeng guru UKS SMP dan SMA untuk turun tangan. Caranya dengan menggelar Workshop Kemitraan Pendidikan Kesehatan Reproduksi di Among Tani.
Dalam kegiatan itu, hadir psikolog Sayekti Pribadiningtyas dari Himpunan Psikologi Indonesia Malang Raya dan dr. M. Arief Adibrata dari RSUD Karsa Husada Batu sebagai narasumber.
Mereka memberi wawasan soal pentingnya edukasi kesehatan reproduksi sejak dini, bahkan sebelum anak menginjak usia remaja. Usia remaja adalah masa transisi yang rentan. Kalau tidak dibekali pengetahuan yang benar, mereka bisa salah jalan.
Susan menambahkan, guru UKS dipilih karena sebagian besar waktu produktif anak dihabiskan di sekolah. Guru dinilai bisa jadi garda depan pendampingan kesehatan reproduksi. Namun, pendekatannya tidak boleh kaku.
“Gen Z tidak bisa diperlakukan dengan cara lama. Edukasi harus diberikan bukan sebagai guru atau orang tua, tapi sebagai sahabat,” ujarnya.
Menurut Susan, kasus kehamilan remaja rata-rata dipicu minimnya perhatian, pengawasan, dan edukasi dari orang tua. Banyak keluarga masih menganggap tabu bicara soal seksualitas.
Situasi itu justru mendorong anak mencari tahu sendiri dari media sosial atau lingkungan pergaulan. “Masalahnya, tidak semua informasi bisa mereka sortir. Dari situlah sering kali anak terjerumus dan berujung kehamilan di luar nikah,” terangnya.
Karena itu, Dinkes menekankan pentingnya keterlibatan semua pihak. Tak hanya guru UKS, tapi juga orang tua, tokoh masyarakat, komunitas seni, hingga budaya harus ikut bergerak.
“Di era keterbukaan sekarang, tidak ada lagi yang bisa ditutup-tutupi. Lebih baik anak diberi informasi yang benar daripada mereka cari sendiri dan salah arah,” katanya.
Edukasi kesehatan reproduksi ini bukan hanya soal menekan angka kehamilan remaja. Lebih jauh, hal itu juga berkaitan dengan upaya menekan angka stunting.
Remaja yang paham kesehatan reproduksi bisa lebih siap menjadi orang tua. Mereka diharapkan mampu melahirkan generasi sehat, berkualitas, dan produktif.
“Kalau ini berhasil, maka pembangunan sumber daya manusia ke depan juga ikut terdorong. Itu bagian dari cita-cita Indonesia Emas 2045,” pungkas Susan. (Ananto Wibowo)