
MALANG POST – Fenomena sound horeg yang belakangan jadi sorotan akhirnya memasuki babak baru. Setelah Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa haram, Polda Jawa Timur turut memperkuat dengan menerbitkan imbauan resmi, larangan penggunaan sound horeg di kegiatan masyarakat, termasuk karnaval.
Dua keputusan itu bagai angin segar bagi masyarakat yang selama ini memilih diam. Mereka yang sebelumnya takut bicara, kini mulai buka suara.
“Sebenarnya dari dulu kami tidak suka. Tapi kami diam saja, takut nanti dikucilkan tetangga,” ucap IN (25), seorang ibu muda warga salah satu desa di Kecamatan Batu, Senin (21/7/2025).
Perempuan berhijab itu mengaku, pernah satu kali menonton karnaval sound horeg langsung membuat dadanya sesak. Nafas terasa berat.
“Bukan cuma saya. Bayi saya yang baru 6 bulan saja kaget dengar suara sound biasa, apalagi sound horeg. Makanya kami memilih mengungsi waktu ada karnaval desa. Tak tega membiarkan anak terus-terusan dengar dentuman keras begitu,” jelasnya.
Bukan hanya suara yang bikin risau. Bagi IN, karnaval dengan sound horeg kini seperti diskotek berjalan. Diiringi dancer berpakaian minim, tak jarang juga ada yang membawa minuman keras. Padahal, penontonnya banyak anak kecil.
“Beberapa waktu lalu desa kami ada karnaval sound horeg. Rumah saya jaraknya lumayan jauh dari rute. Tapi getarannya tetap terasa di rumah. Akhirnya saya dan bayi memutuskan pergi ke rumah mertua di Malang, demi kesehatan anak kami,” ungkap IN.
Wanita ini pun menyambut baik fatwa haram dari MUI dan larangan dari Polda Jatim. Menurutnya, lebih banyak mudarat daripada manfaat dari sound horeg. “Setelah ada sound horeg, kadang ada ribut-ribut, ada yang mabuk di pinggir jalan, bahkan yang ketangkep polisi karena narkoba. Apa seperti ini yang layak ditonton anak-anak?” ucapnya.
Ia berharap, karnaval kembali seperti zaman dulu. Lebih edukatif, menampilkan budaya, sejarah perjuangan, hingga kreativitas masyarakat. “Kalau pakai sound, ya sewajarnya. Tidak perlu sampai bikin telinga sakit dan rumah bergetar,” tambahnya.

ILUSTRASI: Salah satu sound horeg yang sempat diamankan kepolisian dalam sebuah momen Ramadan beberapa waktu lalu. (Foto: Ananto Wibowo/Malang Post
Cerita senada diungkap warga Kecamatan Batu lainnya, SK (53). Demi kesehatan cucunya, ia memilih mengungsi dua hari penuh saat ada karnaval sound horeg di desanya. “Takut cucu saya jadi budek. Hari pengecekan sound sampai hari karnaval, kami pergi dari rumah untuk mengingsi. Rumah kami sampai bergetar tiap mobil sound lewat,” katanya.
Ibu paruh baya ini pun mengungkap fakta lain. Karnaval sound horeg ternyata membutuhkan biaya besar. Warga diwajibkan iuran Rp250 ribu per KK.
“Orang kecil seperti kami jelas berat. Tapi tidak iuran, nanti dianggap tidak mendukung kampung. Tak enak dengan tetangga. Akhirnya terpaksa ikut, meski hati menolak,” keluhnya.
SK menambahkan, sebenarnya banyak warga lain yang sependapat dengannya. Tidak setuju dengan sound horeg. Tapi sebagian besar memilih diam, khawatir jadi bahan gunjingan.
Sementara itu, H (45), seorang wanita di Kecamatan Batu, memilih langkah yang sama. Setiap ada karnaval sound horeg, ia dan keluarga selalu mengungsi. “Saya ada sakit jantung bawaan. Kalau dengar dentuman keras itu, dada langsung sesak, jantung seperti mau copot. Saya pilih pergi saja daripada bahaya,” ungkapnya.
Tak hanya berdampak pada kesehatan. Rumah H pun terkena imbas. Getaran sound horeg membuat kaca jendelanya retak. “Kaca rumah sampai retak. Ini hiburan kok jadi merusak rumah orang,” katanya heran.
H juga mempertanyakan mengapa sound horeg disebut-sebut sebagai budaya. “Budaya dari mana? Tidak ada asal-usul jelasnya. Coba bandingkan dengan kuda lumping, bantengan, jaranan itu jelas budaya. Sound horeg cuma hiburan sekelompok orang yang suka musik keras,” tuturnya.
Kini, harapan warga seperti IN, SK dan H hanya satu. Setelah keluarnya fatwa MUI dan imbauan Polda Jatim, karnaval sound horeg diharapkan perlahan berkurang. Digantikan dengan karnaval edukatif, sarat nilai budaya dan sejarah, seperti masa lalu.
“Karnaval yang bagus itu yang bisa dinikmati semua usia, dari anak kecil sampai orang tua. Bukan malah bikin orang mengungsi dari rumahnya sendiri,” pungkasnya. (Ananto Wibowo)