Malang – Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia mengeluarkan maklumat Nomor: Mak/1/I/2021 tentang Kepatuhan terhadap Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut Serta Penghentian Kegiatan Front Pembela Islam (FPI). Didalamnya memang berisikan pelarangan organisasi FPI.
Tapi terdapat sebuah pasal yang berdampak pada kinerja jurnalis. Taitu pasal 2d. Berisi pembatasan kepada masyarakat untuk tidak mengakses, mengunggah dan menyebarluaskan konten terkait FPI. Baik melalui website maupun media sosial.
Sebagai salah satu penyedia informasi bagi masyarakat, jurnalis memiliki peran untuk mencari dan mempublikasikan informasi pada khalayak umum. Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Malang Raya, Cahyono membenarkan.
Pihaknya menilai, maklumat itu berseberangan dengan UU 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Maklumat tersebut mengancam kerja jurnalis.
“Maklumat itu tidak menghormati kebebasan memperoleh informasi. Juga bisa mengancam jurnalis dan media, yang tugas utamanya adalah mencari informasi dan menyebarluaskannya kepada publik,” tegas Cahyono.
Maklumat itu, juga melanggar UU nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Maka, maklumat yang ditandatangani 1 Januari 2021 itu, perlu ada perubahan. “Pasal 2d itu berlebihan. Karena setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia,” ungkapnya.
Senada, Taufik, mantan Sekretaris PWI Malang, menyebutkan. Maklumat itu tidak tepat dilakukan oleh Kapolri. Alasannya tidak sejalan dengan semangat demokrasi. “Maklumat itu sebaiknya dievaluasi. Apalagi ini ada kaitanya dengan keterbukaan informasi publik. Terkait dengan pasal 2d, alangkah bijaknya kalau dicabut saja,” sambungnya.
Sementara itu, AJI (Aliansi Jurnalistik Independent), juga memberikan sikap. “Sebaiknya ada diskresi khusus untuk media dalam menyebar informasi terkait dengam maklumat itu,” ujar Zainudin, Ketua Aji Malang.
“Seharusnya terdapat pengeculian terhadap informasi yang disebarluaskan sebagai produk jurnalistik. AJI Malang mengharapkan ada perubahan dalam maklumat tersebut. Agar tidak bertentangan dengan UU Pers,” lanjutnya. Sebelumnya asosiasi pers telah menyatakan sikap sebagai berikut:
1. Maklumat Kapolri dalam Pasal 2d itu berlebihan. Tidak sejalan dengan semangat negara demokrasi yang menghargai hak masyarakat untuk memperoleh dan menyebarkan informasi. Ini tertuang jelas dalam Pasal 28F UUD 1945: “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.
2. Maklumat ini mengancam tugas jurnalis dan media, yang karena profesinya melakukan fungsi mencari dan menyebarkan informasi kepada publik, termasuk soal FPI. Hak wartawan untuk mencari informasi itu diatur UU No. 40/1999 tentang Pers. Menyatakan, “(3) Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.” Isi maklumat itu, yang akan memproses siapa saja yang menyebarkan informasi tentang FPI, juga bisa dikategorikan sebagai “pelarangan penyiaran”, itu bertentangan dengan pasal 4 ayat 2 UU Pers.
3. Mendesak Kapolri mencabut pasal 2d dari Maklumat itu. Karena mengandung ketentuan yang tak sejalan dengan prinsip negara demokrasi, tak senafas dengan UUD 1945 dan bertentangan dengan Undang Undang Pers.
4. Mengimbau pers nasional untuk terus memberitakan pelbagai hal yang menyangkut kepentingan publik, seperti yang sudah diamanatkan oleh Undang Undang Pers.
Keputusan tersebut diambil dan disetujui Abdul Manan (Ketua Umum AJI Indonesia), Atal S Depari (Ketua Umum PWI Pusat), Hendriana Yadi (Ketua Umum IJTI), Hendra Eka (Sekjen PFI), Kemal E Gani (Ketua Forum Pemred), Wenseslaus Manggut (Ketua Umum AMSI).(nyk/jan)