Oleh: Dahlan Iskan
PAGI-PAGI saya olahraga lagi. Satu jam lagi. Di bagian depan kamar. Saya bawa speaker kecil –sekecil korek api yang saya beli di Beijing tempo hari. Saya punya stok lagu di memori HP. Satu jam, 22 lagu.
Sudah dua hari tidak olahraga. Baru di Buraydah ini bisa olahraga. Langsung malamnya dan paginya.
Di hotel di Makkah tidak boleh suarakan musik. Saya coba olahraga di depan kamar pakai musik. Ketahuan. Didatangi petugas. Dilarang. Olahraga saya teruskan. Tanpa musik. Boleh.
Di Buraydah udara terasa lebih kering. Sambil olahraga yang terpikir cara meneruskan perjalanan ke Riyadh. Saya belum tahu ada kereta jam berapa saja. Reception hotel juga tidak tahu. Lebih baik pagi-pagi langsung stasiun. Dari pada menyesal belakangan.
“Bagaimana cara cari taksi ke stasiun?”
“Punya Uber?”
“Tidak punya”.
Ia garuk-garuk kepala. Lalu mengelus jenggot. Diam menerawang. Berpikir keras. Lama.
“Saya bisa panggilkan taksi. Tapi … mahal”.
Ups.
“Seberapa mahal?”
“Seratus riyal”.
Ganti saya yang garuk kepala. Mau meraba jenggot tidak punya bulu di janggut. Terdiam. Lama.
“Ok” kata saya lirih. “Ke stasiun saja kok 100 riyal” kata saya dalam hati.
Logika saya salah lagi. Seharusnya stasiun kereta di tengah kota. Ternyata tidak di Buraydah. Stasiun kereta Buraydah tidak di Buraydah. Tidak pula di kota lain sekitarnya. Stasiun ini di tengah padang pasir yang luas: 50 km dari kota.
Berarti 100 riyal tidak mahal: tidak ada pilihan lain. Hampir saja mau jalan kaki dari hotel –setelah coba berdiri di pinggir jalan tidak menemukan angkot. Ternyata segini jauhnya.
Stasiun ini baru: setelah Covid-19. Cantik. 3-i. Ia satu-satunya bangunan di lautan pasir nan luas itu. Semua penumpang datang diantar mobil. Saya langsung ke loket penjualan tiket.
“Penuh,” ujar petugas loket.
“Yang siang?”
“Penuh”.
“Sore?”
“Penuh semua. Sepanjang hari”.
Saya garuk-garuk kepala. Agak keras. Agak lama. Biar ia lihat bahwa saya lagi yatim piatu.
Saya menyesal tidak menahan si 100 Riyal. Agar tunggu dulu di stasiun –sampai saya pasti dapat tiket.
Logika saya salah lagi. Ini memang hari Minggu tapi kan hari kerja. Mestinya tidak banyak penumpang. Di Saudi weekend-nya Kamis malam. Liburnya Jumat dan Sabtu.
Di perjalanan tadi si 100 Riyal sebenarnya sudah menawarkan: bisa langsung antar ke Riyadh. Ongkosnya: antara 800 sampai 900 riyal. Tergantung di sebelah mana Riyadh-nya. “Riyadh itu kota besar,” katanya.
Ia orang Mesir. Sudah 10 tahun kerja di Saudi. Ia juga sudah memberikan nomor teleponnya ke saya.
Saya longok ke luar stasiun: tidak ada siapa pun. Ia sudah begitu jauh. Sudah ditelan fatamorgana.
Saya balik ke loket. Tanpa berkata apa-apa. Hanya garuk-garuk kepala. Ia lihat si yatim piatu di depannya.
“Apakah mau jadi penumpang cadangan?” katanya.
“Mauuuuuu” jawab saya.
“Anda bayar 105 riyal. Kalau semua penumpang ternyata datang, uang kembali. Tidak bisa cash. Akan dikirim ke rekening bank Anda. Mungkin perlu waktu 2 atau 3 hari,” katanya.
“Mauuuu”.
“Anda masuk waiting list nomor 2”.
“Mauuuuu”.
“Kereta akan berangkat pukul 09.00. Anda akan tahu dapat kursi atau tidak pukul 08.57”.
“Mauuuu”.
Ia melihat bawaan saya.
“Hanya itu?”
“Mauuuu”.
Mungkin saya akan langsung ditolak kalau terlihat bawa koper besar. Waktu tiga menit tidak cukup untuk menyeret koper ke kereta.
“Saya bisa lari,” kata saya.
Ia tersenyum –mungkin lihat kacamata hitam saya yang baru yang lupa saya copot.
“Anda tunggu di kursi sana itu,” katanya sambil menyerahkan tiket saya. Kali ini saya bayar pakai kartu. Agar, kalau tidak dapat kursi, uang bisa balik masuk kartu itu –tidak nyasar ke kartunya Jokosp SP.
Di kursi tunggu saya pun lihat layar HP: masih pukul 08.30. Masih bisa berdebar agak lama. Saya tidak berdoa semoga ada mobil calon penumpang yang kesasar di padang pasir. Saya pasrah. Tawakal. Saya tidak berusaha menjemput takdir. Saya murni menunggu nasib.
Pun satu wanita bercadar hitam di ujung kursi sana.
Setengah jam detak jatung berlomba cepat dengan detik di HP. Kurang lima menit. Petugas minta tiket saya. Juga tiket si hitam. Dibawa masuk. Tanda-tanda baik.
Kurang tiga menit. Ada petugas memberi kode dari jauh: dengan tangannya.
Saya bergegas lari ke arahnya. Ke arah kereta. Saya diantar oleh petugas itu masuk gerbong. Aman. Terus berjalan ke gerbong depannya: penuh. Banyak tempat duduk berhadapan: diberi tirai. Mungkin satu keluarga di balik tirai itu.
Masuk lagi ke gerbong di depannya: penuh. Sebagian gerbong ini dikosongkan. Lantainya diberi karpet. Ada sajadah terhampar: musala.
Di musala itu pun saya mau. Lebih santai.
Ke gerbong depannya lagi. Saya diminta duduk di situ. Di kursi yang banyak barangnya: minuman, kardus-kardus, kereta dorong. Oh.. Ini kereta makan. Nggak masalah. Hanya 3 jam perjalanan.
Ini bukan kereta cepat. Tapi baru. Bersih. Kalau pun saya naik mobilnya Si Mesir tadi juga tiga jam. Naik bus yang bisa lima jam: hanya boleh lari 80-100 km/jam.
Tiga jam di kereta ada waktu nyicil membaca komentar. Sambil cari hiburan. Tidak ada Rhoma Irama –pun tiruannya. Inilah kali pertama saya ke Riyadh –dulunya hanya sebatas transit di bandaranya.
Hai Riyadh! Saya datang!
“Mau ngapain di sini?” tanya Riyadh yang hanya terdengar di hati.
“Saya juga tidak tahu,” jawab saya ke Riyadh.
Semoga bisa bertemu Ronaldo di stadion An-Nassr. Atau bertemu Neymar di stadion Al Hilal.
“Omon koson,” ujar si Riyadh. Rupanya Riyadh sudah bisa memodifikasi kata-kata terkenal di Indonesia sejak debat capres yang lalu.
Besoknya saya ke dua stadion itu: tutup. Jangankan Ronaldo dan Neymar, stadion itu pun belum milik mereka.
An-Nassr hanya diberi hak mengelola stadion besar milik King Saud University. Kampusnya di seberang stadion. Luas. Di pusat kota.
Al Hilal mendapat hak mengelola stadion lainnya. Masih baru. Gres. Milik pemerintah: Kingdom Arena. Wajah depannya seperti gedung perpustakaan. Letaknya di pinggir kota. Di seberang theme park terkenal: Boulevard World.
Saya akan ke situ lagi kelak, di tahun 2035: kalau Piala Dunia jadi dilaksanakan di Saudi Arabia.
Itu pun kalau sebuah harapan benar-benar bisa menambah umur. (*)