Pada Munas X Majelis Ulama Indonesia yang digelar di Jakarta Kamis, 26 November 2020 lalu secara resmi menetapkan kepengurusan baru periode 2020-2025. Ketua tim formatur MUI KH. Ma”ruf Amin menjelaskan bahwa telah terbentuk struktur baru MUI dimana KH. Miftahul Akhyar terpilih sebagai ketua umum. Sederet nama baru muncul pada susunan kepengurusan baru MUI, namun dalam struktur baru yang diumumkan tersebut tidak terdapat lagi nama-nama pada kepengurusan lama, misalnya saja nama Din Syamsudin yang pernah menjabat sebagai ketua dewan pertimbangan MUI periode 2015-2020, yang aktif di Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI). Namanya kini tak lagi masuk dalam daftar pimpinan MUI baik dalam daftar pengurus harian ataupun dewan pertimbangan. Selain itu nama-nama ulama lainnya yang terdepak dari kepengurusan MUI diantaranya ustadz Tengku Zulkarnain, yang pada periode sebelumnya mengisi posisi sebagai wakil sekretaris jenderal MUI, ustadz Bachtiar Nasir, yang pernah menjabat sebagai wakil sekretaris dewan pertimbangan MUI periode 2015-2020, dan juga ustadz Yusuf Martak, yang pernah menduduki posisi bendahara MUI dan juga dikenal publik sebagai ketua GNPF ulama. Keempat tokoh tersebut dikenal keras dalam mengkritik kebijakan pemerintah. Tiga nama terakhir merupakan tokoh yang lekat dengan Persaudaraan Alumni 212.
Ujang Komarudin, Pengamat politik universitas Al Azhar Indonesia menilai bahwa terdapat dominasi dan kekuatan Ma’ruf Amin sangat jelas terlihat di MUI, hal ini membuka dugaan kuat adanya campur tangan pemerintah di payung besar para ulama, mengingat MUI sangat strategis bagi pemerintah, karena ormas ini dapat mengumpulkan berbagai ormas Islam dalam satu wadah, sementara pemerintah kini sedang memiliki masalah dengan kelompok Islam kanan yang dipimpin oleh habib Rizieq Shihab, sehingga dengan digandengnya MUI pemerintah tentu menjadi lebih aman. Hal senada diucapkan oleh peneliti politik LIPI Siti zuhro, ia menilai terdapat upaya penyeragaman suara di MUI. Seperti yang dinyatakan oleh Ace Hasan Syadzily, wakil ketua komisi 8 DPR yang memiliki ruang lingkup tugas bidang keagamaan, Majelis ulama Indonesia bukan organisasi politik, melainkan tempat berhimpunnya ormas-ormas Islam tanpa adanya tujuan politik tertentu, pihaknya berharap kepengurusan yang baru bisa mengedepankan Islam yang moderat. Islam yang rahmah dan ramah bukan yang marah.
Meskipun ditanggapi dengan legowo oleh ketua Persaudaraan Alumni 212 dan beberapa kalangan, kondisi ini seakan menunjukkan ke publik tentang fakta bagaimana rezim yang berkuasa saat ini berusaha untuk mengebiri peran MUI dengan menyingkirkan ulama-ulama yang kritis terhadap pemerintah dan menganggap MUI sebagai wadah bermain politik. Hal ini menjadi bukti bahwa sistem sekuler makin kuat dan dominan mewarnai pengambilan kebijakan.
Sesungguhnya keterlibatan ulama di dalam kancah perpolitikan bukanlah hal baru dalam Islam. Sosok ulama selalu tampak hadir mendampingi para Umara dalam menjalankan visi kepemimpinan agar berjalan sesuai dengan tuntunan Islam. Sejatinya Islam adalah agama spiritual sekaligus agama politik, Islam tidak mengenal pemisahan antara aspek spiritualitas dalam aspek politik. Islam juga mengatur aspek-aspek berkenaan dengan hubungan dirinya dengan sesama manusia lainnya, termasuk di dalamnya urusan politik dalam pemerintahan. Namun demikian umat Islam tidak boleh gentar, justru harus ada kesadaran bahwa Majelis ulama wajib mencontohkan sikap menentang kezaliman dan menasihati penguasa (muhasabah lil hukkam). Sebab dalam pandangan Islam menasihati penguasa adalah sebuah kewajiban yang mulia, bahkan Islam mendorong setiap muslim untuk melakukan muhasabah lil hukkam. hal ini dilakukan semata-mata untuk menjaga umat di tengah masyarakat agar tetap berada dalam koridor hukum syara.
Pun dengan narasi Islam moderat, ulama juga wajib mewaspadai arus moderasi yang memanfaatkan posisi mereka untuk menyesatkan umat. Dari berbagai pernyataan para politisi dan intelektual barat terkait klasifikasi Islam menjadi Islam moderat, maka akan ditemukan bahwa yang mereka maksud Islam moderat adalah Islam sekuler, yang mau menerima nilai-nilai barat seperti demokrasi, serta mau berkompromi dengan imperialisme barat dan tidak menentangnya. kelompok yang disebut Islam moderat ini mereka anggap sebagai Islam yang ramah dan bisa menjadi mitra barat.
Islam moderat pada dasarnya adalah sebuah ide yang menjadi bagian dari rangkaian proses sekulerisasi pemikiran Islam di tengah-tengah umat yang memiliki warna baru. Ide ini menyerukan untuk membangun Islam inklusif yang bersifat terbuka dan toleran terhadap ajaran agama lain dan budaya. Tujuannya adalah tidak lain agar umat Islam meragu dan jauh dari pemahaman Islam sehingga nilai-nilai dan praktek Islam khususnya yang berhubungan dengan politik Islam dan berbagai hukum-hukum Islam yang lain bisa diganti dengan pemikiran dan budaya barat. Dengan demikian penjajahan atas kaum muslim dapat tetap langgeng.
Maka telah nampak bahayanya pemikiran Islam moderat, karena gagasan ini tidak hanya mengebiri Islam yang sejatinya adalah sebuah ideologi, yakni agama yang memiliki pemikiran dan metode untuk mewujudkan pemikiran-pemikirannya menjadi sekedar kumpulan pemikiran saja. Sehingga Islam berubah menjadi sekedar agama ruhiyah yang dihilangkan sisi politisnya sebagai solusi dalam seluruh aspek kehidupan. Islam moderat digunakan untuk menghadang upaya ditegakkannya syariah dan Khilafah. Yakni sebuah kepemimpinan bagi umat muslim di seluruh dunia yang dipimpin oleh seorang Khalifah.
Lantas jika gagasan Islam moderat masih digaungkan, bagaimana bisa umat Islam memiliki seorang Imam? seperti yang diinginkan oleh wakil presiden Ma’ruf Amin dalam pidatonya pada penutupan Munas X MUI kemarin. Maka sudah menjadi fokus kiprah ulama untuk senantiasa menasihati penguasa dan menentang kedzaliman agar tetap berpegang pada aturan Islam. Sedangkan menghentikan kerusakan akibat sistem rusak ini tidak bisa diserahkan hanya pada organisasi masyarakat tapi hanya bisa dijalankan sempurna oleh negara Khilafah Islam, sebab kekuatan yang dimiliki oleh umat Islam adalah Islam dan Khilafah.
Penulis : Shafna Aulia Yardha, Alumni FAI UMM