Sebagai pelaku kesenian, saya cukup tersentuh dengan keluh kesah teman-teman
seniman yang mencoba bertahan hidup di masa pandemi Covid-19. Beberapa di
antaranya seniman teater paruh baya yang sudah puluhan tahun mengabdikan diri di
panggung kesenian. Mereka dipaksa menghadapi “new normal” dalam
mempertahankan keseniannya. Panggung-panggung pertunjukan sudah menjamur dan
berkarat digantikan layar-layar digital smartphone.
Menurut Eddy Sedyawati (1981), seni pertunjukan di Indonesia berangkat dari suatu
keadaan dimana ia tumbuh dalam lingkungan etnik yang berbeda satu sama lain.
Dalam lingkungan etnik ini, adat, atau kesepakatan bersama yang turun temurun
mengenai perilaku, mempunyai wewenang yang amat besar untuk menentukan rebah
bangkitnya kesenian.
Sebelum pandemi, kesenian tradisi memang kurang begitu diminati. Dominasi
kesenian modern sudah membius penikmat seni beralih dari bayang-bayang ritus dan
mistis kesenian tradisi. Kemajuan teknologi juga membantu masyarakat melupakan
masa jaya seni tradisi di Indonesia.
Periode tahun 90-an, seni tayuban begitu lekat di kalangan masyarakat. Tampil di
persimpangan jalan desa satu ke desa lainnya. Masyarakat begitu khusyuk
menyaksikan tarian lenggak-lenggok sinden dan tabuhan gamelan yang sederhana.
Sesekali disisipi pesan-pesan moral untuk selalu berlaku bijak dalam kehidupan.
Antusiasme masyarakat terhadap kesenian tradisi cukup dimaklumi, mengingat
rendahnya konsumsi teknologi (televisi dan gadget) masa itu.
Sekarang kesenian tradisi tidak lagi digemari masyarakat. Bahkan banyak yang sudah
melupakan euforia seni tayuban, ketoprak, lengger calung, wayang jemblung, ludruk,
dan beragam jenis tari khas daerah tertentu. Masyarakat mulai dimanjakan dengan
dunia digital yang menonjolkan kekuatan audio dan visual dalam pengkaryaannya.
Selain kurang diminati, pelaku seni tradisi juga berpikir realistis tentang
perkembangan kesenian di Indonesia. Kesenian tradisi terjebak pada pakem
pertunjukan yang akhirnya tertinggal jauh dengan kesenian modern yang lebih
fleksibel mengikuti pasar. Akhirnya, kapitalisme kesenian mengusai seni modern
yang menonjolkan fungsi digital sebagai acuannya.
Menganaktirikan Seni Teater
Jika dimaknai secara etimologis, teater merupakan tontonan di gedung pertunjukan
untuk disaksikan banyak orang. Istilah lainnya adalah drama yang diartikan sebagai
perbuatan, tindakan, atau perilaku. Dalam tradisi Jawa, ada istilah sandiwara yang
dikenalkan oleh P.K.G. Mangkunegara VII yang berasal dari sandi = teka-teki dan
warah = ajaran, nasihat. Artinya adalah pertunjukan yang sarat pesan moral secara
tersirat maupun tersurat.
Perkembangan teater di Indonesia cukup menggembirakan. Sejak kemunculan tokoh
W.S Rendra yang mempopulerkan teater modern, kemudian disusul Arifin C. Noer,
Putu Wijaya, hingga Sapardi Djoko Darmono. Hampir setiap kampus mempunyai
UKM Teater per fakultasnya, bahkan di tingkat sekolah dasar hingga menengah atas
juga mempunyai ekstrakurikuler teater.
Namun gairah berteater tidak diikuti dengan intensitas kesejahteraan pelaku teater.
Akhirnya, minat berteater hanya dijadikan hobi, bukan jalan hidup. Apresiasi tertinggi
dari pementasan teater hanyalah seberapa banyak penonton dan riuh tepuk tangan
yang didengar. Soal pendapatan atau penghasilan hanya cukup untuk menutup biaya
produksi pertunjukan.
Berbanding terbalik dengan dunia perfilman. Selain kemudahan akses mendapatkan
sumber pendanaan dari sponsor, tontonan film juga jauh lebih diminati daripada
pertunjukan teater. Harga tiket masuk juga bisa dijadikan acuan bahwa standar teater
daerah sudah jauh tertinggal dari film. Kecuali memang pertunjukan teater sekelas
teater koma, bengkel teater, dan sejenisnya yang mencoba “mengangkat martabat”
daya jual teater.
Di Solo, standar harga tiket pertunjukan teater hanya berkisar 10 ribu hingga 20 ribu.
Kapasitas penonton sekira 300-an orang. Sedangkan biaya produksi selama 3 bulan
proses menuju pertunjukan bisa mencapai 5-10 juta. Daya tawar bagi sponsor dan
donatur juga rendah karena pertunjukan yang singkat (1-2 jam) sekali pertunjukan.
Realita yang akhirnya banyak mengurungkan minat pemuda untuk menekuni dunia
akting. Apalagi seni tradisi yang sulit mendapatkan ruang pertujukan karena tergusur
dengan transformasi seni digital. Seni tradisi bukan lagi menjadi hiburan bagi
masyarakat, melainkan hanya dijadikan formalitas ritus belaka.
Padahal sejak era orde baru, pertunjukan teater adalah sarana strategis melemparkan
isu sindiran dan kritikan kepada pemerintah. Seiring berjalannya waktu, jasa teater
yang menerbitkan banyak artis legendaris di Indonesia sudah tidak lagi dikenal
sebagai batu loncatan menuju kesuksesan. Produser Film lebih memilih model atau
selebgram yang mendadak viral karena tingkah konyol di media sosial, daripada
mereka yang sejak kecil sudah berproses dari sanggar satu ke sanggar yang lain.
Melawan Pandemi
Anggara abadi untuk kebudayaan tahun 2020 mencapai 5 triliun rupiah.
Kemendikbud gencar melakukan pemajuan kebudayaan berbasis revolusi industri 4.0.
Konstruksi seni dan budaya yang diusung pemerintah untuk menjadikan kesenian
domestik bisa bersaing di kancah Internasional. Faktanya, kesenian tradisi semakin
terpinggirkan dari jangkauan dana produksi dan ruang pertunjukan.
Pandemi Covid-19 sedikit membuka mata bahwa kesenian tradisi sudah hilang dari
panggungnya. Bahkan kesenian modern cukup kewalahan menarik minat penonton
menyaksikan pertunjukan musik atau teater, meskipun tanpa tiket sekalipun.
Warganet lebih memilih tontonan non-streaming sesuai waktu yang mereka
kehendaki.
Sarana yang digunakan juga menjadi kelemahan ketika pertunjukan seni tidak
didukung dengan event organizer yang memadai. Dampaknya adalah tersendatnya
pertunjukan, kualitas audio yang jelek, dan tata panggung atau lampu yang tidak
semegah pertunjukan offline. Seniman dipaksa berpikir tentang proses dan pemasaran
yang serba digital untuk tetap bisa mengekspresikan ide dan karyanya. Mereka rela
berproses tanpa sponsor dan tiket penonton. Asalkan karyanya diapresiasi (ditonton)
sudah menjadi kebanggaan tersendiri.
Pemberitaan tentang pandemi lebih menekankan pada ekonomi dan politik semata,
sedangkan banyak bidang yang patut untuk diperhatikan agar tetap lestari. Banyak hal
yang bisa dilakukan untuk memperjuangkan kesenian tradisi. Jika tidak berminat
menjadi pelaku kesenian tradisi, minimal bisa melecut semangat seniman di tengah
wabah pandemi Covid-19.
Salah satu kekayaan bangsa Indonesia adalah seni dan budayanya. Setiap suku dan
daerah mempunyai kesenian masing-masing. Sayangnya apresasi terhadap seni tradisi
tergusur oleh kemajuan teknologi. Generasi muda sudah tidak lagi mengenal kesenian
tradisi dan lebih menggemari kesenian asing yang masif menjadi tren remaja masa
kini.
Merawat kesenian tradisi bukan hanya dengan kucuran dana yang melimpah, bukan
pula narasi-narasi lantang tentang pelestarian budaya. Kesenian tradisi bisa hidup
kembali jika ada ruang berekspresi dan mendapatkan apresiasi. Mencoba mengenalkan dan menarik minat generasi muda untuk menekuni kesenian tradisi sebagai jalan hidup. Sehingga tidak ada lagi citra seniman tradisi yang mati dalam kemiskinan dan kesengsaraan.
Penulis : Joko Yuliyanto (Penggagas Komunitas Seniman NU)