By: Ahmad Fauzan Mahasiswa Ilmu Pemerintahan UMM
Pandemi Covid-19 tak terasa sudah berlangsung selama lebih dari setahun. Peningkatan kasus pasien terkonfirmasi positif per tanggal 1 Juli 2021 mencapai 253.826 kasus, sehingga total kasus positif di Indonesia mencapai 2.203.108 orang, kemudian pasien sembuh mencapai 1.890.287 orang dan kasus meninggal mencapai 58.995 orang (Kompas.com 1/7).
Jumlah korban yang terus bertambah mengisyaratkan perlunya langkah pemerintah untuk melakukan langkah cepat untuk menekan angka kenaikan kasus. Mengingat dampak yang ditimbukan juga sampai pada sektor sosial dan ekonomi.
Merespon kasus yang melonjak dengan signifikan, akhirnya pemerintah menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat untuk wilayah Jawa – Bali. Bukan tanpa alasan pemerintah menetapkan kebijakan ini mengingat belakangan ini kasus aktif bertambah hingga mencetak rekor terbanyak selama Covid-19 terkonfirmasi di Indonesia.
Namun, seiring dengan berlakunya PPKM Darurat ini juga timbul masalah yang seakan mengulang malalah panic buying yang terjadi di awal pandemi pada Maret 2020. Apa yang melatarbelakangi terjadinya panic buying saat kembali diterapkannya pembatasan sosial?
Panic buying merupakan tindakan pemelian atau penimbunan barang karena rasa takut atau untuk mengantisipasi terhadap suatu kejadian yang dianggap menghawatirkan. Dalam proses terjadinya, panic buying dilakukan oleh masyarakat dengan perekonomian menengah ke atas yang memiliki kehawatiran berlebih terhadap suatu hal, tak terkecuali dalam keadaan pandemi Covid-19 seperti saat ini.
Banyak alasan yang dikemukakan oleh masyarakat terhadap tindakan mereka dalam melakukan panic buying, mulai dari khawatir toko tidak buka selama PPKM hingga fanatisme yang berlebihan terhadap produk yang diminati. Pada dasarnya, dengan alasan apapun, tindakan ini tidak dapat dibenarkan karena akan berimbas pada kondisi perekonomian khususnya stabilitas harga barang yang beredar dipasaran.
Meminjam istilah Suharto (2002) (coping strategies) strategi masyarakat untuk bertahan hidup dalam masa pandemic ini cukup beragam, mulai dengan pemangkasan kebutuhan pokok, memilah mana kebutuhan yang menjadi prioritas utama serta mengelola asset yang ada. Semua dilakukan semata-mata dilakukan suapaya dapat bertahan di dalam situasi krisis seperti saat ini.
Rasa takut masyarakat sepertinya muncul kembali layaknya pada awal masuknya Covid-19 ke Indonesia. Hanya saja terdapat perbedaan yang melatarbelakangi terjadinya panic buying pada tahun lalu dan sekarang. Baru-baru ini menjelang diterapkannya PPKM Darurat, ramai diberitakan di media masa, bahwasanya produk yang dipercayai memiliki khasiat untuk mendukung daya tahan tubuh dalam menghadapi situasi yang tidak menentu seperti saat ini.
Sebenarnya tindakan panic buying terhadap salah satu produk susu yang baru-baru ini tidak pantas terjadi. Karena pemerintah tidak pernah membatasi atau bahkan melarang seseorang untuk berbelanja kebutuhan pokok selama masa PPKM berlangsung. Memang tindakan ini terlihat sepele saja, tetapi dampak yang ditimbulkan akan sangat masif. Mulai dari berkkurangnya stok barang yang seharusnya masih ada, mulai munculnya oknum penimbun barang, hingga membuat harga barang menjadi naik dari harga semula. Tidak hanya pada ekonomi saja, dampak nya juga dapat menyerang psikologi seseorang.
Lebih lanjut ketika pandemi Covid-19 semakin parah, maka akan memperkuat pemikiran akan kematian. Maka dari itu individu akan mejadi lebih impulsif, termasuk impulsif dalam membeli barang (Pelupessy, 2020).
Berkaitan dengan hal ini, terlihat jelas bahwa mayoritas masyarakat pelaku panic buying memang memiliki literasi terhadap komposisi produk yang ada di pasaran. Dapat dilihat dari susu yang menjadi target perilaku panic buying ini. Terdapat barang sejenis yang banyak beredar dipasaran yang memiliki komposisi sama bahkan ada yang lebih murah tetapi tidak menjadi pilihan dalam panic buying ini.
Selain fakta kurangnya literasi produk dipasaran, terdapat fakta yang cukup menarik jika dilihat dari sudut pandang bisnis, pemilik merek susu tersebut berhasil membangun brand nya dengan baik dan masyarakat percaya dengan produk mereka. Ini merupakan sebuah prestasi yang perlu diapresiasi dan layak untuk ditiru oleh para pengusaha dalam membangun sebuah merek yang besar sehingga pasar akan tetap ingat dan akan selalu mencari merek yang cocok untuk dikonsumsi.
Berbagi dan Saling Menguatkan
Dalam menghadapi situasi yang tidak menentu seperti pandemi Covid-19 ini, alangkah baiknya kita tetap mengedepankan rasa kemanusiaan dengan turut berempati dalam segala hal. Utamanya dalam memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari, setidaknya jika tidak mampu berbagi kepada sesama, ya jangan sampai mengganggu ketersediaan kebutuhan orang lain karena keinginan pribadi untuk memiliki diluar batas kewajaran. Meski menurut Anda itu remeh, tetapi bisa jadi sangat berarti kepada orang yang membutuhkan.
Pentingnya Memahami Produk di Pasaran Seiring dengan berkembangnya teknologi informasi pada masa kini, bukanlah hal yang sulit untuk mengetahui dan mempelajari produk yang beredar dipasaran. Ini terdengar sepele pada sebagian orang namun, sangat penting untuk kita lakukan terkait dengan kebutuhan kita terhadap manfaat sebuah produk. Selain bermanfaat untuk kita sendiri, literasi produk ini juga berdampak baik untuk pemerataan konsumsi produk di pasaran dan dengan hal ini tingkat kelangkaan produk dapat dihindari. (yan)