Pengesahan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja atau Omnibus Law mengundang banyak sikap pro dan kontra di ruang publik masyarakat Indonesia. Tapi disahkannya Omnibus Law tersebut sesungguhnya tak hanya berpengaruh besar bagi sektor dunia ketenagakerjaan di Indonesia semata tapi juga menyentuh pada sektor pertanian. Lahirnya UU Cipta Kerja secara lugas membuka peluang untuk munculnya investasi pertanian global. Hal itu dapat dilihat dari adanya perubahan payung hukum baru , seperti dihapuskannya batasan penanaman modal asing (PMA) dalam pengembangan komoditas hortikultura (UU 13 Tahun 2010) yang sebelumnya dibatasi di 30% dan juga pada komoditas perkebunan (UU 39 Tahun 2014)
Pembatasan PMA dalam UU Cipta Kerja ini nyatanya memberi analitik baru bagi dunia investasi dan produksi pertanian domestik. Hadirnya aturan baru yang memberi banyak kebebasan para pemodal atau investor global untuk turut serta dalam sektoral pertanian secara langsung. Kondisi ini jelas akan menjadi sesuatu yang baru dalam konstitusi agraria Indonesia. Karena para petani tradisional yang sebelumnya terbiasa dalam sistem pengembangan tata kelola pertanian konservatif dan dibantu dengan mekanisme perantara pemerintah akan langsung dipacu dengan tuntutan yang akan ditargetkan oleh investasi global.
Perubahan batasan PMA sektor pertanian dalam Omnibus Law ini bagi pemerintah diharapkan memberi dampak positif bagi peningkatan kesejahteraan petani di Indonesia dan peningkatan produksi pertanian domestik. Hadirnya investor pada sektor pertanian diharapkan memperbaiki kuantitas lapangan kerja dan kemajuan teknologi pertanian. Termasuk membantu perbaikan modernisasi alat – alat pertanian yang selama ini masih tradisional.
Namun, kesadaran untuk modernisasi dunia pertanian dengan kebijakan Omnibus Law untuk menciptakan pertumbuhan sektoral pertanian global secara luas ini dapat saja menjadi senjata makan tuan. Karena kebijakan pemerintah dalam membuka secara terbuka sektoral pertanian secara global ini berdampak negatif bagi usaha pertanian dalam skala kecil yang tumbuh di desa. Mereka yang tak mampu menguasai alat – alat modern pertanian menjadi tersisih dengan keberadaan sumber daya manusia yang cakap dengan teknologi pertanian modern. Jika ini realitanya, maka masih pentingkah Omnibus Law turut mengatur sektoral pertanian Indonesia.
Tuntutan Daya Siang
Satu aspek yang mempengaruhi pemerintah memasukkan domain sektor pertanian kedalam Omnibus Law adalah karena faktor resesi ekonomi akibat Covid-19. Berdasarkan data terbaru, resesi ekonomi melanda Indonesia pada kuartal III tahun 2020. Data ini pun mempertegas gambaran lesunya pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang tahun 2020..
Pandemi Covid-19 telah mengubah banyak hal secara drastis. Kelesuan akibat resesi ekonomi ini faktanya telah memberi transformasi perekonomian yang lebih efisien dan lebih inklusif untuk pemenuhan ekonomi dalam negeri. Ditengah kelesuan ekonomi, Indonesia berpacu dengan kompetensi untuk memajukan daya saing kompetensi negara secara global. Dorongan ini sekaligus memperbaiki posisi Indonesia dalam indeks kompetitif secara global. Dalam laporan Global Competitiveness Index (GCI) 2019 yang dirilis World Economic Forum (WEF) peringkat daya saing Indonesia turun ke posisi 50 dari posisi 45 yang didapatkan tahun sebelumnya. Tak hanya penurunan peringkat, skor daya saing Indonesia juga turun meski tipis 0,3 poin ke posisi 64,6. Berdasarkan indeks itu, Indonesia masih menghadapi sejumlah tantangan dalam negeri guna memperbaiki daya saing melalui peningkatan efisiensi, khususnya efisiensi logistik dan produksi yang hingga kini masih kurang kompetitif.
Efisiensi sistem logistik di Indonesia menjadi faktor penting untuk memperkuat daya saing secara besar. Untuk menciptakan ekonomi berdaya saing global diperlukan dukungan dari berbagai elemen di dalam negeri.Faktor pendukung untuk mencapai efisiensi logistik seperti penyediaan dan penataan infrastruktur logistik yang tepat menjadi prioritas utama.
Hadirnya perbaikan dan penambahan infrastruktur di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir memberi pengaruh yang berarti terhadap pengembangan sektor ekonomi logistik nasional. Meski demikian, urusan logistik tak hanya membutuhkan infrastruktur semata, melainkan juga perbaikan regulasi, standar-standar yang baik, dan sistem elektronik terintegrasi. Berangkat dari hal inilah, pemerintah seperti memacu penataan regulasi semua sektor usaha produktif dalam satu paket kerja aturan bernama Omnibus Law.
Involusi Pertanian
Omnibus Law yang baru saja disahkan oleh DPR dan Pemerintah faktanya akan mulai mengatur segala aktivitas pertanian yang menjadi subjek ketahanan logistik tersebut. Seberapa efektif Omnibus Law mampu mengatur segala kebijakan pertanian Indonesia.? Tentu hanya waktu yang membuktikan. Namun jika kita berangkat pada pengetahuan sejarah Hindia Belanda, paket penyatuan segala aturan ketenagakerjaan sektoral pertanian seperti Omnibus Law ini sesungguhnya tak akan pernah mampu menghasilkan keberhasilan produktivitas ekonomi negara.
Kita dapat bercermin pada fakta sejarah sistem tanam paksa (Cultuurstelsel) yang berkembang pada 1830 an dimana konsekuensi didalamnya mendatangkan banyak anomali dalam sistem kerja dan tata kelola pertanian. Alih – alih mendatangkan kemakmuran, sistem tanam paksa pemerintah Belanda malah menyebabkan kemunduran dalam sektor pertanian
Seperti yang disampaikan Clifford Geertz dalam Agricultural Involution : The Process of Ecological Change in Indonesia (1963). Involusi pertanian atau kemunduran pertanian di Indonesia yang berkembang dari masa Hindia Belanda terjadi karena tidak seimbangnya luas lahan pertanian dan jumlah petani yang mengerjakan.
Sistem pertanian modern yang digunakan oleh pihak Hindia Belanda tidak berubah menjadi lebih baik bahkan melahirkan keadaan yang involutif karena jumlah penduduk terus bertambah. Tanah dan petani semakin terserap kedalam ektor pertanian komersial yang dibutuhkan oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk perdagangan dunia.
Kemiskinan semakin kuat karena kegagalan interaksi antara pribumi terutama petani dengan struktur kolonial ekonomi politik. Pada saat 70 persen lahan ditanami setiap tahun. Hampir separuh dari tanah pertanian tidak menerima irigasi, para pengusaha yang dituntut kebuutuhan pasar global kemudian terus memaksakan diri untuk dapat memenuhi sistem pertanian.
Akibatnya baik para pengusaha lokal dan para pekerja hanya mendapatkan kegiatan Shared Proverty atau kemiskinan yang membagi rata, karena baik pengusaha dan petani akhirnya tak berdaya dengan tuntutan global dalam komersialisasi pertanian. Implikasinya kerumitan dari sistem pertanian ini menurut Geertz melahirkan kekacauan pembagian hasil ekonomi karena baik pengusaha, tuan tanah dan petani sama – sama mendapat bagian yang kecil. Bahkan ironisnya para pengusaha tuan tanah masih ikut bekerja di tanah pertanian orang lain untuk mencukupi kebutuhan subsistennya.
Berkaca sejarah pertanian Hindia Belanda tersebut, maka kekhawatiran penerapan Omnibus Law dalam sektor pertanian Indonesia mengalami kondisi serupa dengan yang terjadi masa Hindia Belanda, menjadi hal yang tak dapat dibantah. Kita patut waspada jika obsesi pemerintah membangun sistem pertanian global ini nantinya hanya akan berujung ketidakberdayaan pengusaha dan petani lokal dalam memenuhi segala tuntutan kebutuhan pasar global. Semoga pemerintah dapat bijaksana dalam melihat analisa ini.
Penulis : Haris Zaky Mubarak, MA, Sejarawan dan Direktur Jaringan Studi Indonesia