
Sudah tujuh bulan pandemi virus Covid-19 mengepung aktivitas masyarakat di tanah air. Setelah diumumkan Presiden Jokowi pada Senin (2/3), angka korban terjangkit virus Covid-19 di Indonesia kian melonjak. Data yang diwartakan Satuan Tugas Penanganan Covid-19 per Kamis (5/11/20) yang terkonfirmasi positif berjumlah 421,731 orang, kasus meninggal 14.259 orang dan sembuh 353,282 pasien (covid19.go.id, 6/11/20). Angka yang besar ini tidak akan berdiam diri namun akan terus bertambah sampai ditemukannya vaksin penawar virus Covid-19. Berdasarkan akumulasi data di atas, dapat disimpulkan bahwa angka kematian Covid-19 di Indonesia masih tinggi. Persentase kematian secara nasional sebesar 3,4 persen bahkan masih di atas rata-rata angka kematian di dunia sebesar 2,5 persen (Saputri, Republika.co.id, 6/11/20).
Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk menekan penyebaran virus Covid-19, mulai
menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), lockdown (dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai karantina wilayah), hingga sekarang menerapkan pola hidup baru (new normal life). Namun upaya itu belum menunjukkan hasil yang maksimal. Mengingat masyarakat yang apatis dalam menyikapi kebijakan pemerintah untuk melakukan protokol kesehatan 3M, memakai masker, menjaga jarak dan mencuci tangan dengan sabun. Muhyiddin, dalam sebuah artikel yang bertajuk “Covid-19, New Normal dan Perencanaan Pembangunan di Indonesia” yang diterbitkan oleh The Indonesian Journal of Development Planning menuturkan bahwa kehadiran Covid-19 merobek dan memporak-porandakan seluruh lini kehidupan masyarakat. Baik dari sisi ekonomi, sosial, pendidikan, kesehatan, dsb. Sektor yang terdampak akibat Covid-19 ini akan berdampak signifikan kepada penerimaan pajak yang menjadi tonggak utama dalam membangun negeri.
Sehingga wajar bila penulis mengungkapkan “Pandemi Vs Resesi Bagaikan Jatuh Tertimpa Tangga”. Bila kita melihat penerimaan pajak hingga 30 September 2020, realisasi penerimaan pajak sebesar Rp. 750,62 triliun atau setara dengan 62,61 persen dari target
yang ditetapkan dalam Perpres 72 tahun 2020 sebesar Rp. 1.198,82 triliun (Malik, viva.co.id,
6/11/20). Lebih jelas, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan seluruh penerimaan
perpajakan tumbuh negatif dibandingkan tahun sebelumnya karena adanya perlambatan kegiatan ekonomi dan pemanfaatan insentif fiskal pada masa pandemi Covid-19 (Suara.com, 6/11/20).
RESESI PAJAK ?
Dampak Covid-19 terhadap pajak di tanah air tidak bisa dipandang remeh. Menteri Keuangan Sri Mulyani menuturkan dalam konferensi pers APBN Kita September, Selasa (22/9/2020) bahwa Indonesia menjadi salah satu negara yang terancam mengalami resesi. Pernyataan Kemenkeu mengacu pada data ekonomi kuartal III di minus 1,1-0,2 persen sampai minus 1,0 persen. Namun, Badan Pusat Statistik (BPS), Kamis (5/11/2020), merilis ekonomi Indonesia pada kuartal III tahun 2020 tumbuh minus 3,49 persen. Angka di atas tentu lebih buruk dibandingkan proyeksi yang pernah diungkapkan Sri Mulyani pada 22 September lalu.
Beberapa indikator yang bisa dijadikan alasan bahwa pajak Indonesia terancam resesi.
Pertama, guncangan ekonomi. Virus Covid-19 yang melanda sejak bulan Maret lalu menyebabkan gangguan ekonomi yang meluas hampir seluruh negara di dunia. Bahkan Indonesia telah mengeluarkan anggaran dana penanganan virus Covid-19 sebesar 677,2 triliun. Hal ini disampaikan oleh Presiden Joko Widodo saat Rapat Koordinasi Nasional Pengawasan Internal Pemerintah 2020, (Republika.co.id, 6/11/20). Bila virus ini tidak segera reda, sementara guncangan ekonomi semakin dahsyat, maka resesi tak bisa dihindari.
Kedua, hilangnya kepercayaan konsumen. Kondisi darurat ini mengkhawatirkan konsumen dalam membelanjakan uang mereka dan lebih memilih untuk menabungkannya. Menabung saat akan resesi menjadi pilihan terbaik bagi sebagian orang. Namun kalau semakin banyak yang melakukan hal yang sama, maka situasi perekonomian justru semakin parah. Bila hal ini berlanjut, maka seluruh perekonomian akan melambat secara drastis tanpa pemasukan. Sedangkan hampir 70% dari Produk Domestik Bruto (PDB) bergantung pada belanja konsumen.
Ketiga, suku bunga tinggi. Suku bunga tinggi membuat harga pembelian besar menjadi mahal, seperti rumah, mobil, apartment, dsb. Keadaan ini memaksa perusahaan-perusahaan mengurangi pengeluaran dan rencana belanja mereka karena pembiayaan terlalu tinggi. Hal ini mengakibatkan perekonomian menyusut dan tidak mendapatkan pemasukan. Dan masih banyak lagi indikator yang menunjukkan resesi sebuah negara, sepert gelembung aset dan deflasi. Deflasi terjadi karena penurunan permintaan yang besar. Ketika orang menunda pembelian sampai harga rendah, menyebabkan aktivitas ekonomi menjadi lemah dan lambat.
Dampak Resesi Bagi Masyarakat
Dari beberapa fakta di atas, bayang-bayang resesi sudah tampak nyata di depan mata. Bisa
digambarkan kemudian efek yang akan dirasakan oleh masyarakat, bahkan bisa menambah angka PHK dan pengangguran yang lebih besar. Ketika angka pengangguran meningkat, secara otomatis pembelian konsumen akan menurun. Bisnis bisa bangkrut. Dampak resesi juga bisa membuat orang kehilangan rumah, kendaraan dan properti lainnya karena tidak sanggup membayar cicilan. Pemutusan sekolah anak karena tidak sanggup membayar biaya pendidikan, anak muda yang baru tamat sekolah sulit mendapatkan pekerjaan, bahkan mereka yang sudah bekerja tidak mengalami kenaikan gaji atau bahkan menerima pemotongan gaji.
Dampak resesi juga menjadikan kesenjangan sosial masyarakat semakin tinggi. Orang-orang yang memiliki uang dan sudah mempersiapkan diri pra resesi, tidak akan berpengaruh signifikan terhadap keberlangsungan hidup mereka. Sedangkan mereka yang berada di bawah garis kemiskinan, yang sudah sulit pra resesi akan merasakan kesulitan yang lebih parah saat resesi melanda negeri ini.
Menyikapi Era Resesi
Jadi, bila resesi ini terjadi karena roda perekonomian yang melemah karena pandemi yang tak kunjung reda, maka pertama yang perlu dienyahkan adalah virus Covid-19. Obat, vaksin, metode pengobatan lainnya diharapkan mampu menjadi obat dari permasalahan ini. Karena walau bagaimana pun, aspek kesehatan tetap menjadi kunci utama yang harus diperhatikan. Sebelum juru selamat itu ditemukan, negara harus hadir di tengah-tengah masyarakat memberikan sokongan fiskal untuk mendorong daya beli yang lebih komprehensif. Pemerintah harus menjamin ketersediaan kebutuhan dasar masyarakat, Seperti ; jaminan bahan pangan, keamanan, kesehatan dan industri yang memproduksi essential goods juga harus tetap beroperasi.
Selain perlakuan pemerintah, masyarakat juga harus diedukasi sedini mungkin mampu
membentengi diri agar selamat dari ancaman resesi. Beberapa hal sederhana yang bisa dilakukan oleh masyarakat dalam menghadapi resesi, antara lain ; menyiapkan dana darurat, membiasakan pola hidup hemat, meningkatkan produktivitas dan kualitas kerja agar tetap dipertahankan perusahaan, lengkapi kebutuhan prioritas dan tunda dulu pembelian besar. Kerjasama yang baik dari pemerintah dan masyarakat dalam menekan penyebaran virus Covid-19, akan mengurangi dampak resesi di tanah air. Dengan begitu, pemerintah hanya memikirkan cara memulihkan perekonomian Tanah Air di tengah gencatan pandemi Covid-19.

Apri Wardana Ritonga, S. Pd, Guru di Tazkia IIBS (Islamic International Boarding School Malang).