AMEG – SEBENARNYA ada satu ekonom yang meramalkan di triwulan pertama 2021 ekonomi kita akan tumbuh positif. Yakni Dr Cyrillus Harinowo. Ia pernah di IMF, salah satu calon Gubernur Bank Indonesia, lalu 15 tahun di Unilever, dan kini komisaris Bank BCA.
Nyatanya mayoritas ekonomlah yang benar: pertumbuhan kita minus hampir 1 persen (-0,74 YoY). Berarti sudah empat triwulan Indonesia selalu minus.
Cyrillus punya alasan mengapa meramal positif. Ia lihat, data ekspor kita menguat luar biasa di bulan Maret 2021. Mencapai USD 18,9 miliar.
“Untuk kali pertama dalam 2 tahun terakhir mencapai USD 18 miliar lebih,” katanya.
Cyrillus pun curiga jangan-jangan BPS –yang mengeluarkan angka statistik resmi negara– punya kecenderungan mengambil aman. Yakni aman dari kritik.
“Kalau BPS mengumumkan angka positif pasti diserang habis oleh para analis. Maka cari aman,” katanya pada Disway kemarin.
Kecurigaan itu mungkin saja berlebihan. Bisa saja ekspor Maret memang luar biasa, tapi tersedot angka negatif yang dalam di bulan Januari. Sehingga rata-rata 3 bulan pertama belum bisa positif.
Bagaimana triwulan dua, tiga, dan empat tahun ini?
Kali ini hampir semua ekonom sepakat: akan positif. Tinggal positif di angka berapa. Bahkan ekonom seperti Anthony Budiawan menyebut “positif tapi ekonomi melemah”. Itu didasarkan pada kenyataan angka PDB Konstan kita terus melemah. Terutama kalau dilihat dari perkembangan triwulan 3 ke triwulan 4 tahun 2020. Sedikit naik dari triwulan 4 ke triwulan 1 tahun 2021.
Berarti untuk bisa positif masih memerlukan perjuangan dan doa. Ada dua syarat yang masih harus dipenuhi.
Pertama, tidak ada gelombang baru Covid-19. Apa yang terjadi di India belakangan ini sangat mencemaskan. Dalam sehari saja yang terkena Covid 400.000 orang. Yang meninggal dunia sehari sekitar 3.000 orang.
Itulah waswas yang pertama. Yakni was-was pada pengawasan bandara dan pelabuhan. Pengawasan di garis depan harus tidak bisa ditawar-tawar dan disogok-sogok.
Berita meninggalnya Gunawan Tjandra beredar sangat luas. Dari WA ke WA. Tanpa ada klarifikasi kebenaran penyebab sesungguhnya: kena Covid gelombang baru atau sakit jantung. Atau dua-duanya.
Meninggalnya adik Djoko Tjandra –yang pernah lama jadi buron– itu disebutkan akibat varian baru Covid-19. Padahal Gunawan dikatakan sudah vaksinasi dua kali.
Putri almarhum AM Fatwa, Dian Islamiati, yang saya tulis di Disway dua hari lalu, juga terkena varian baru. Padahal enam bulan lalu dia sudah sembuh dari Covid. Belum diketahui varian yang mana.
Dua hari terakhir WA saya sempat tidak dibalas. Saya pun sangat mengkhawatirkannyi. Barulah kemarin Dian membalas dengan WA pendek sekali. “Memburuk. Dipindah ke HCU. Saturasi tinggal 82,” tulisnyi.
Kalau saja kita berhasil terhindar dari gelombang baru Covid-19 harapan ekonomi bisa tumbuh akan terkabul.
Waswas yang kedua: apakah bank berani mulai mengucurkan kredit. Baik investasi maupun modal kerja. Sepanjang bank masih mementingkan bisnis dengan Bank Indonesia –dengan cara lebih memilih menggunakan likuiditas untuk membeli surat utang BI– maka waswas itu akan jadi kenyataan.
Kita belum punya alat pengungkit pertumbuhan lainnya. Memang ekspor kita semakin baik. Terutama oleh kenaikan harga sawit dan kenaikan angka ekspor besi/baja (baca: nikel).
Investasi besar-besaran di industri pengolahan nikel kelihatannya telah mulai membuahkan hasil.
Lihatlah angka dari Cyrillus ini: tahun 2019 neraca impor-ekspor besi/baja kita masih defisit USD 3 miliar. Tahun lalu sudah surplus USD 4 miliar.
“Rasanya surplus kita akan berlangsung agak panjang. Berkat pengolahan nikel,” ujar Cyrillus yang alumnus UGM (akuntansi) itu –yang gelar doktornya dari universitas di Vanderbilt University, Nashville, Amerika Serikat.
Para pelaku bisnis tampaknya masih harus terus pasang mata dan telinga. (*)