Malang – Banjir dan tanah longsor pasti membawa dampak bagi korban. Kerugian materi sudah pasti. Tapi ada dampak yang tak nampak. Yaitu psikologis. Baik anak-anak maupun orang dewasa. Seperti yang terjadi di Dusun Selopuro, Desa/Kecamatan Ngetos, Kabupaten Nganjuk, 14 Februari 2021.
Mahasiswa Relawan Siaga Bencana (Maharesigana) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) menangkap ini. Dua tim tim disiapkan. Berangkat dua gelombang. Tim pertama berada di lokasi sejak Sabtu (20/2). Memberikan dukungan psikososial bagi penyintas.
“Setiap tim terdiri lima mahasiswa berbagai fakultas. Fokusnya pada kegiatan psikososial. Untuk dewasa maupun anak-anak,” kata Rindya Fery Indrawan, Ketua Maharesigana UMM, Selasa (23/2).
Assessment dilakukan tiga hari di pengungsian. Koordinator Tim Psikososial Kelompok I, Ahmad Hendra Purwanto mengungkapkan: pengungsi menyampaikan banyak keluhan. Baik fisik maupun psikologis. Mulai rasa ketakutan, khawatir, gelisah bahkan rasa bersalah yang sangat dalam.
“Ada seorang nenek, terus menyesali keputusannya membiarkan cucunya pulang ke rumah orang tuanya. Si nenek bilang, seandainya saja ia menahan si cucu, mungkin hingga kini cucunya masih hidup. Tidak terkubur longsor bersama ayah ibunya,” ujar Hendra.
Kondisi sejenis ini, menjadi fokus tim. Dilakukan Psychological First Aid (PFA) atau tindakan humanis. Untuk mendukung dan membantu seseorang yang menderita, membutuhkan bantuan akibat bencana alam atau krisis.
“Tujuannya menghindari kondisi psikologis yang lebih buruk lagi. Jadi menenangkan, memberikan rasa aman dan nyaman. Kalau kebutuhan fisik, sudah tercukupi dari pemerintah daerah yang sangat tanggap,” tambah Hendra.
Selain orang dewasa, mereka juga menangani anak-anak. Mereka didera rasa bosan. Sementara keinginan mereka, kuat untuk beraktivitas normal. Padahal kondisi belum memungkinkan.
“Layanan dukungan psikososial bagi anak, kami buatkan jadwal kegiatan untuk mereka. Agar tidak jenuh. Jika sebelumnya banyak komunitas atau lembaga lain terus mengajak bermain. Kini waktunya kami atur. Kasihan kalau diajak bermain terus. Anak-anak juga akan lelah dan itu tidak baik untuk imun mereka. Apalagi di masa pandemi seperti ini,” tambahnya.
Hendra menguraikan. Penjadwalan dilakukan meliputi kegiatan senam pagi, assesment, istirahat dan mengaji. Ragam ini penting. Agar anak-anak tidak merasa jenuh. “Baik pengungsi dan tim harus mendapat istirahat yang cukup. Sehingga kondisi tubuh tetap terjaga. Kondisi fisik dan spiritual juga tetap harus diperhatikan. Untuk ibu-ibu akan didatangkan ustadzah untuk mengajar mengaji,” ujarnya.
Zakarija Achmat S.Psi M.Si, selaku pembina menyampaikan. Pihaknya mempersiapkan dengan baik, pemberangkatan para relawan. Selain mendapat pembekalan dari laboratorium Psikologi Terapan Psikososial UMM tentang bantuan psikologis awal, kesehatan para relawan juga menjadi fokus.
“Kita kirimkan 10 relawan. Lima orang seminggu, nanti ditarik. Diganti tim lain karena masih dalam situasi seperti ini. Itu pun harus melalui protokol. Begitu sampai langsung rapid test, swab antigen. Jangan sampai kedatangan para relawan justru menimbulkan cluster baru,” urainya. Zakarija melanjutkan, pihaknya berharap keberadaan relawan Maharesigana bisa meringankan beban korban. Terutama sisi psikologisnya .
“Semoga dapat meringankan beban. Minimal beban psikologisnya. Karena relawan kita pendekatannya psikososial. Misalnya, para orang dewasa fokus mengembalikan keadaan ke sistuasi normal. Anak-anak menjadi tidak terperhatikan pendidikannya. Teman-teman relawan akan membantu proses pendidikan tetap berjalan. Bukan berarti menggantikan guru, tapi lebih secara umum. Contohnya, story telling,” pungkasnya. (roz/jan)