MALANG POST – Demi membongkar ‘kantong-kantong’ Tuberkulosis (TBC) yang mungkin tersembunyi di tengah masyarakat, Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Batu, bersama Puskesmas Sisir, rutin menggelar operasi skrining intensif. Kali ini sasarannya di RW 11 Kelurahan Temas.
Kegiatan yang dihadiri perangkat kelurahan, Babinsa dan puluhan warga ini bukan sekadar seremonial. Ini adalah aksi nyata tracking dan tracing bakteri Mycobacterium Tuberculosis yang bisa ‘tidur’ lama dalam tubuh sebelum melumpuhkan.
“TBC ini penipis ulung. Tidak selalu batuk-batuk. Kuman bisa diam, lalu bangkit dan menyerang saat daya tahan tubuh turun. Karena itu, kami harus mendeteksi lebih dini, sebelum penularan meluas,” Kepala Puskesmas Sisir, Sachariano, Jumat (14/11/2025)
Di wilayah kerjanya, Sachariano mengaku masih menemukan warga dari berbagai rentang usia yang harus menjalani pengobatan TBC. Namun, ia menegaskan, penyakit ini bisa dikalahkan asal ditangani dengan serius dan didampingi tenaga kesehatan.
Petugas Dinkes Kota Batu, Yoni Hadi Purnomo memaparkan, warga yang bergejala batuk langsung diperiksa dahaknya dengan Tes Cepat Molekuler (TCM). Sementara yang tampak sehat tak luput dari pemeriksaan Tuberculin Skin Test (TST) untuk mendeteksi infeksi laten.
“Hasilnya keluar dua hari kemudian. Jika positif, langkah selanjutnya adalah foto rontgen dada untuk memastikan kondisi paru-paru. Semua biaya ditanggung pemkot,” jelas Yoni.
Namun, perang melawan TBC bukan cuma soal obat dan laboratorium. Peperangan terberat justru melawan stigma masyarakat. “Orang dengan TBC jangan dijauhi, justru harus didukung agar semangat berobat. Setelah rutin minum obat, risiko menularnya turun drastis,” tambahnya.
Di balik upaya masif ini, ada filosofi yang menarik. Bagi Dinkes Kota Batu, yakni menemukan banyak kasus TBC justru adalah berita baik, bukan sebaliknya.

SKRINING TBC: Tim Dinkes Kota Batu bersama Puskesmas Sisir saat melakukan skring TBC di Kelurahan Temas, Kecamatan Batu. (Foto: Ananto Wibowo/Malang Post)
“Semakin banyak kami menemukan, artinya semakin banyak yang bisa kami obati. Itu indikator bagus, karena rantai penularan bisa diputus. Justru yang berbahaya jika kasus yang ditemukan sedikit, itu artinya masih banyak ‘bom waktu’ TBC yang berkeliaran tanpa terdeteksi dan bisa menulari orang lain,” kata Kepala Dinkes Kota Batu, Aditya Prasaja.
Meski strategi sudah baik, namun perjalanannya selalu mulus. Salah satu penghalang terbesar adalah kepatuhan pasien.
Seperti diungkapkan Adit, salah satu tenaga medis di lapangan, tak sedikit pasien yang berhenti berobat di tengah jalan. Alasannya klasik, bosan atau merasa sudah sehat.
“Padahal, itu keliru. Jika berhenti, bakteri bisa bermutasi dari yang sensitif menjadi kebal obat. TBC biasa diobati 6 bulan, tapi kalau sudah resisten, bisa sampai 2 tahun!” tegas Adit.
Stigma masyarakat juga masih menjadi tembok tebal. Banyak yang menolak diagnosis, malu, bahkan kabur saat masa pengobatan. Pemeriksaan kontak erat, yang vital untuk memutus mata rantai seringkali ditolak.
“Minimal satu rumah harus mau diperiksa. Tapi sering yang sakit saja ditutup-tutupi, apalagi keluarganya,” tuturnya.
Berdasarkan data terkini Dinkes Kota Batu, hingga saat ini terdapat 270 pasien TBC yang sedang ditangani. Rinciannya 185 orang masih dalam masa pengobatan, 66 orang dinyatakan sembuh setelah pengobatan tuntas, 17 orang meninggal dunia dan 2 orang dilaporkan putus berobat.
“Angka ini membuktikan dengan pengobatan standar yang disiplin, pasien bisa sembuh total. Kawasan padat penduduk masih menjadi episentrum kasus tertinggi,” ujarnya.
Skrining di Temas adalah langkah awal. Dinkes Kota Batu bertekad terus menggulirkan kegiatan serupa ke sudut-sudut kota lainnya. Misi mereka jelas: gempur TBC sampai ke akar, jangkau yang tak terjangkau, dan wujudkan Kota Batu yang bebas TBC. (Ananto Wibowo)




