
DOKTER: Kabid Pencegahan, Pengendalian Penyakit dan Penanganan Bencana Dinkes Kota Batu, dr. Susana Indahwati. (Foto: Ananto Wibowo/Malang Post)
MALANG POST – Tak banyak yang menyangka. Kota Batu yang dikenal sejuk, nyaman dan ramah wisatawan, ternyata diam-diam menyimpan catatan serius soal kasus HIV. Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Batu mencatat ada 38 kasus baru HIV selama rentang Januari hingga Juni 2025.
Temuan ini datang dari berbagai kelompok masyarakat, termasuk lelaki seks dengan lelaki (LSL) alias gay, hingga calon pengantin yang baru hendak membangun rumah tangga.
“Betul, dari total 38 kasus, dua di antaranya adalah LSL dan dua lainnya calon pengantin,” ujar Kabid Pencegahan, Pengendalian Penyakit dan Penanganan Bencana Dinkes Kota Batu, dr. Susana Indahwati, Jumat (4/7/2025).
Susan mengungkapkan, selain dua LSL dan dua cantin (calon pengantin), juga ditemukan dua ibu hamil, dua pasien TBC, satu wanita pekerja seks (WPS), tiga ODHIV (orang dengan HIV) dan sisanya berasal dari populasi umum.
Meski begitu, Susan menyebut tren kasus baru HIV di Kota Batu sebenarnya menunjukkan penurunan dari tahun ke tahun. Sebagai gambaran, di tahun 2023 tercatat 123 kasus baru, sementara pada 2024 turun menjadi 92 kasus. Tahun ini, di paruh pertama saja baru 38 kasus yang ditemukan.
“Artinya, kalau ritme skrining dan intervensinya tetap konsisten, penambahan kasus bisa terus ditekan,” tutur Susan.
Dinkes Kota Batu sendiri terus melakukan upaya menyeluruh. Mulai dari promotif (penyuluhan), preventif (pencegahan), hingga kuratif (pengobatan). Upaya-upaya ini menyasar kelompok berisiko tinggi dan populasi umum.
“Kami aktif memberikan edukasi tentang HIV, terutama kepada anak-anak muda dan komunitas rentan. Harapannya, mereka paham bahwa risiko bisa datang dari gaya hidup yang tak sehat,” imbuh Susan.
Skrining HIV juga rutin dilakukan. Terutama menyasar populasi kunci, seperti LSL, WPS, serta pengguna narkoba suntik. Tapi bukan berarti masyarakat umum luput. Dalam kegiatan CKG, pemeriksaan juga dibuka untuk siapa saja yang bersedia.
“Penularan HIV ini masih didominasi oleh hubungan seksual berisiko. Maka penting sekali membangun kesadaran sejak dini, termasuk lewat edukasi pranikah,” ungkapnya.
Upaya kuratif, seperti pemeriksaan rutin dan pengobatan antiretroviral (ARV) untuk ODHIV, juga tetap berjalan.
Dinkes tak berjalan sendirian. Mereka juga berkolaborasi dengan puskesmas, rumah sakit, dan lembaga masyarakat. Targetnya jelas: menurunkan jumlah kasus dan memutus rantai penularan.
“Jangan pernah merasa kebal. HIV bisa menyerang siapa saja. Maka cara terbaik adalah peduli, tahu risikonya, dan cek kesehatan secara berkala,” imbaunya. (Ananto Wibowo)