
MALANG POST- Presiden Amerika Serikat ke-47, Donald John Trump, sempat menggegerkan perekonomian global dengan menggagaskan sebuah kebijakan Resiprokal dan kenaikan tarif impor China sebesar 145%.
Dilansir dari laman resmi The White House, pada 2 April 2025 lalu, Presiden Trump menerapkan tarif universal sebesar 10% untuk barang-barang asing dan mulai berlaku per 5 April 2025. Tidak hanya tarif universal, tarif resiprokal juga diberlakukan untuk beberapa negara terhitung per 9 April 2025 pukul 12.01 AM EDT.
Laporan Reuters pada Rabu (9/4/2025) juga menerangkan bahwa Kebijakan tarif impor 145% untuk China, yang ditandatangani di Ruang Oval, Gedung Putih, Washington, D.C.
Ini merupakan bentuk respon dari AS akan tindakan Beijing terhadap kebijakan tarif sebelumnya, yang awalnya kenaikan hanya sebesar 125%, mengalami penambahan sebesar 20% sebagai bentuk hukuman terhadap peran China sebagai penyuplai fentanil ke AS.
Menanggapi isu kenaikan tarif tersebut, Dr.rer.pol. Wildan Syafitri, SE., ME. yang merupakan dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (UB) menyoroti ada motif utama untuk perlindungan ekonomi dalam negeri yang dilakukan oleh AS.
“Jika dilihat dan perlu diketahui bahwa, kebijakan tarif impor Trump ini memiliki tujuan untuk mengurangi defisit neraca perdagangan dan neraca pembayaran AS terhadap Cina,” kata Ketua Program Studi S2 FEB UB.
Lebih spesifik, Wildan juga menyoroti salah satu dampak yang akan terjadi dari kebijakan Trump ini, yaitu spillover effect. Spillover effect adalah dampak yang menyebar dari suatu peristiwa ekonomi ke perekonomian lain.
“Menurut saya, gejala spillover ini akan muncul karena, China tidak hanya sebagai negara pengekspor, tapi juga mengimpor bahan baku dari negara lain, salah satunya dari Indonesia,” kata Wildan.
Sementara itu, dalam sisi kenaikan tarif impor terhadap china, Wildan lebih menyoroti adanya kontradiktif akibat kenaikan tarif impor Cina oleh Trump.
Wildan mengungkapkan bahwa, tarif Trump ini sebenarnya sangat kontras dengan konsep dari free trade atau sistem perdagangan bebas, serta seharusnya persaingan ekonomi global itu memang didasarkan atas daya saing produk itu sendiri, bukan dari tarif.
“Jadi, ini yang dimaksud oleh Bu Sri Mulyani yang bilang bahwa, kebijakan ini tidak bisa dianalisis dengan menggunakan ilmu ekonomi,” tambah Wildan.
Wildan juga menegaskan bahwa, dalam teori klasik, seperti teori keunggulan komparatif, teori keunggulan kompetitif, dan teori keunggulan absolut, menyebutkan bahwa, semakin efisien perekonomian suatu negara, maka semakin kuat daya saing ekspornya.
Maka dari itu, Wildan mengatakan menurut ekonomi klasik, isu ini dapat menurunkan consumer surplus karena harga barang akan cenderung tinggi.
“Tidak menutup kemungkinan akan terjadi Dead Weight Loss yang berarti bahwa tidak ada seorang pun yang akan mendapat keuntungan,” kata Wildan.
Dia menambahkan akan adanya ketidakpastian dalam ranah politis. Dimana, ketika suatu negara secara tiba-tiba meningkatkan tarif impor tanpa adanya perjanjian dengan negara lain maka, itu menjadi kesempatan bagi negara-negara lain untuk melanggar kebijakan free trade dan akan berisiko pada bisnis serta investasi.
Lebih lanjut, Wildan menjelaskan bahwa, Indonesia pada masa setelah covid, perekonomian Indonesia mengalami surplus, sedangkan kondisi perekonomian global, bahkan saat sebelum covid sudah mengalami gejala penurunan.
“Jadi, Indonesia itu selamat dari inflasi, selamat dari resesi,” kat Wildan. Dia menjelaskan solusi strategis yang bisa dilakukan oleh Indonesia untuk merespon hal ini.
“Solusinya ya bisa pengalihan produk ekspor AS ke negara lain, seperti Singapura, meningkatkan daya saing ekspor dengan meningkatkan investasi inovasi, meningkatkan kemudahan bisnis, serta mendorong supply dan demand dalam negeri,” kata Wildan.
Berbeda dengan Wildan, dosen Kebijakan Publik dan Pemerintahan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya (UB), Andhyka Muttaqin, S.AP., M.PA. menanggapi positif kebijakan ekonomi trump tersebut.
Dia menjelaskan Kebijakan penangguhan tarif AS justru memberikan dampak positif terhadap iklim investasi di Indonesia, terutama karena menciptakan kepastian jangka pendek dan peluang relokasi industri dari China.
Namun, pemerintah Indonesia perlu gerak cepat memanfaatkan momentum ini dengan diplomasi dagang aktif dan reformasi kebijakan investasi dalam negeri agar manfaatnya bisa maksimal dan berkelanjutan.
“Kebijakan penangguhan tarif Amerika Serikat dapat menciptakan kepastian jangka pendek dan peluang relokasi industri dari China ke Indonesia,” kata Andhyka.
Andhyka juga menuturkan bahwa, peningkatan tarif ini menciptakan tekanan besar terhadap produk Cina. Sehingga menyebabkan perusahaan-perusahaan global berbasis Cina mencari negara lain untuk mengekspor produknya, salah satunya yang paling berpotensi adalah Indonesia, khususnya dalam sektor manufaktur berorientasi ekspor.
“Ini bisa meningkatkan foreign direct investment (FDI) dari perusahaan multinasional yang ingin menghindari tarif tinggi di China,” kata Andhyka.
Andhyka juga menjelaskan bahwa kebijakan Resiprokal selama 90 hari ini menjadi peluang bagi pemerintah Indonesia untuk memperkuat posisi dalam perundingan perdagangan dan investasi, seperti dengan menegosiasikan perlakuan khusus bagi produk strategis Indonesia atau perluasan fasilitas GSP (Generalized System of Preferences).
Andhyka juga mengungkapkan bahwa, pemerintah Indonesia tetap perlu gerak cepat memanfaatkan momentum ini dengan diplomasi dagang aktif dan reformasi kebijakan investasi dalam negeri agar manfaatnya bisa maksimal dan berkelanjutan. (M Abd Rachman Rozzi-Januar Triwahyudi)