
Pengamat kebijakan publik Universitas Brawijaya, Andhyka Muttaqin, S.AP, M.PA. (Foto: Istimewa)
MALANG POST – Pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming resmi dimulai Minggu (20/10/2024) lalu, beragam kebijakan juga diterapkan keduanya untuk kemajuan bangsa indonesia.
Ada yang dirasa sangat bagus ada pula menuai sorotan publik yang menyalahkan para pemilih pasangan 02 dalam Pilpres 2024.
Fenomena di atas tentu menjadi perhatian akademisi, yang mengingatkan agar masyarakat lebih fokus pada evaluasi kebijakan dibanding terjebak dalam polarisasi politik.
Andhyka Muttaqin, S.AP, M.PA, juga menilai dinamika saling menyalahkan antar-pemilih dalam politik bukanlah hal baru.
Menurutnya, hal ini sering terjadi ketika kebijakan pemerintah yang terpilih dianggap merugikan sebagian kelompok masyarakat.
Akan tetapi menurutnya menyalahkan pemilih tertentu tanpa melihat konteks yang lebih luas justru bisa memperdalam perpecahan sosial.
“Nah baru-baru ini yang menjadi sorotan publik adalah konteks revisi UU TNI ataupun kebijakan lain yang cukup kontroversial, menyalahkan pemilih 02 memang menjadi narasi yang berkembang,” ujarnya kepada wartawan Rabu (26/4/2025).
Pakar Kebijakan Publik Universitas Brawijaya (UB) juga menegaskan. Bahwa dalam sistem pemilihan umum, hasil akhir mencerminkan keputusan masyarakat secara keseluruhan, meskipun tidak semua pihak merasa puas.
Akan tetapi, mengalihkan kesalahan kepada kelompok pemilih tertentu hanya akan menjauhkan masyarakat dari substansi permasalahan yang sebenarnya.
Dosen Prodi Administrasi Publik ini juga menjelaskan, kebiasaan saling menyalahkan dapat berdampak buruk pada diskursus politik di Indonesia.
Alih-alih menciptakan diskusi yang sehat berbasis argumentasi rasional, perdebatan justru menjadi emosional dan berpotensi memperlebar jurang polarisasi politik.
Kebiasaan ini juga dapat menghambat konsolidasi oposisi yang seharusnya berperan dalam mengawasi jalannya pemerintahan. Jika kritik terhadap kebijakan pemerintah hanya berpusat pada siapa yang memilih siapa, maka momentum untuk membangun gerakan yang lebih terarah akan terbuang sia-sia.
“Maka perlu strategi menyikapi dan mengantisipasi kebijakan yang kurang berkenan di masa depan. Jadi, daripada terjebak dalam narasi menyalahkan, ada beberapa strategi yang lebih konstruktif, misalnya dengan membangun kesadaran politik berbasis fakta,” tambahnya.
Dan menurutnya, masyarakat harus meningkatkan literasi politik agar memahami konsekuensi dari kebijakan pemerintah secara objektif, bukan hanya melihatnya sebagai bentuk “balas dendam politik.” Peran media, akademisi, dan diskusi terbuka sangat penting dalam edukasi politik ini.
Andhyka menyarankan untuk memperkuat gerakan sipil yang rasional. Daripada memperpanjang polarisasi, sambungnya, lebih baik membangun gerakan yang mampu memberikan tekanan efektif terhadap kebijakan yang dianggap tidak berpihak pada kepentingan rakyat.
“Gerakan sipil yang solid dan berbasis kajian ilmiah akan jauh lebih berdampak dibanding sekadar debat panas di media sosial,” katanya.
Tak hanya itu, Andhyka mengimbau agar masyarakat dapat menggunakan momentum ini sebagai bahan evaluasi politik menjelang pemilu berikutnya.
“Jika ada kebijakan yang dinilai merugikan, maka langkah terbaik adalah menjadikan hal itu sebagai bahan refleksi dalam menentukan pilihan politik ke depan, bukan sekadar menyalahkan masa lalu,” pungkasnya. (M Abd Rachman Rozzi-Januar Triwahyudi)