
Pakar Hukum Pidana Anak Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Dr. Nurini Aprilianda, S.H., M.Hum. (Foto: Istimewa)
MALANG POST –Belakangan masyarakat menganggap biasa bocil (bocah kecil) yang melakukan tindak kriminal. Padahal ini masalah besar. Tak bisa dianggap remeh. Kompleksitasnya tinggi.
Bahkan kondisi politis pun turut andil terhadap perkembangan anak. Kali ini yang menjadi perhatian publik adalah tiga anak yang masih duduk di Sekolah Dasar (SD) di Gresik, Jawa Timur.
Mereka ditangkap karena mencuri motor. Mirisnya, aksi itu bukan kali pertama mereka lakukan. Kasus pencurian itu ditangani Sat Reskrim Polres Gresik. Tiga pelaku, F (12), HR (9), dan HR (10) masih diperiksa di Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA).
Mereka nyaris dimassa usai dipergoki hendak maling motor. Kapolsek Gresik, Iptu Suharto, mengemukakan pihaknya sempat menginterogasi para pelaku sesaat setelah diamankan warga Selasa (18/3/2025).
Ketiganya bahkan diketahui menjual motor curian tersebut hanya seharga Rp 150 ribu demi bisa bermain di pusat hiburan.
Menanggapi fenomena ini, Pakar Hukum Pidana Anak Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Dr. Nurini Aprilianda, S.H., M.Hum., menegaskan pentingnya melihat akar masalah dari sisi sosial dan keluarga.
“Kalau kita lihat sekarang, anak yang melakukan tindak pidana di bawah umur itu permasalahannya kompleks. Bisa jadi motivasinya berasal dari latar belakang keluarga atau sosial yang bermasalah,” ujar Dr. Nurini dalam wawancara khusus, Rabu (16/3/2025)
Menurutnya, dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA), anak di bawah usia 12 tahun termasuk dalam kategori yang tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Merujuk pada Pasal 21, anak-anak tersebut tidak diproses seperti pelaku kriminal dewasa.
“Mereka tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Pemeriksaan cukup dilakukan oleh penyidik dan pembimbing kemasyarakatan, tanpa dilanjutkan ke tahap peradilan,” jelasnya.
Tindakan terhadap anak pelaku kejahatan di bawah umur biasanya berupa pengembalian kepada orang tua, atau pembinaan melalui lembaga sosial tertentu.
Namun, dia menekankan bahwa keputusan tersebut harus berbasis pada hasil asesmen latar belakang si anak.
Dalam kasus tiga anak yang mencuri motor, motivasi mereka hanyalah untuk bermain di pusat hiburan.
“Di sinilah pentingnya menggali lebih dalam kenapa mereka tidak meminta saja pada orang tuanya? Apakah ada masalah ekonomi?”
“Apakah tinggal dalam keluarga yang broken home? Semua itu harus dianalisis agar tindakan pembinaan tepat sasaran,” tutur dosen hukum pidana ini.
Lebih lanjut, Dr. Nurini juga mengingatkan pentingnya deteksi dini terhadap perilaku anak yang mengarah ke tindakan kriminal.
Misalnya kebiasaan berbohong, tidak jujur, hingga kecenderungan melanggar aturan yang terus dibiarkan tanpa koreksi.
Fenomena meningkatnya kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak di bawah usia 12 tahun, menurutnya, menjadi tantangan tersendiri bagi sistem hukum di Indonesia.
Dia menilai perlu ada evaluasi terhadap batas usia pertanggungjawaban pidana anak yang saat ini masih ditetapkan di usia 12 tahun.
“Beberapa kasus kekerasan seksual juga dilakukan oleh anak di bawah 12 tahun. Ini harus jadi perhatian serius. Kita dibenturkan antara kepastian hukum dan keadilan. Keadilan bagi siapa? Bagi korban dan keluarganya,” ujarnya.
Dalam proses penanganan, pihak kepolisian juga bisa bekerja sama dengan psikolog, psikiater, atau akademisi untuk mendapatkan gambaran utuh mengenai kondisi pelaku anak.
“Negara, masyarakat, keluarga, semuanya bertanggung jawab dalam perlindungan anak. Kalau ada yang salah dalam sistem pendukungnya, maka anak tidak bisa dipersalahkan sendirian,” kata Dr. Nurini. (M Abd Rachman Rozzi-Januar Triwahyudi)