MALANG POST – Belakangan ini pemerintah sedang gencar-gencarnya mengadakan proyek gheotermal yang menyasar gunung-gunung di Indonesia. Salah satunya seperti proyek gheotermal yang kini menyasar wilayah Kota Batu tepatnya di kawasan Songgoriti dan kaki Gunung Arjuno-Welirang.
Seperti diketahui, pada tahun 2014 lalu wilayah Songgoriti di kawasan Gunung Kawi-Buthak dan Gunung Arjuno-Welirang telah ditetapkan sebagai wilayah kerja panas bumi (WKP) untuk proyek raksasa geothermal.
Gheotermal sendiri adalah sumber energi yang berasal dari panas alami di dalam bumi. Jika mencari manfaat positif dan negatif gheotermal di Google, maka yang akan lebih banyak muncul adalah efek negatifnya.
Dengan adanya hal tersebut, Direktur Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jatim, Wahyu Eka Setiawan mengungkapkan, proyek gheotermal di Kota Batu dikelola oleh PT Geo Dipa, yaitu perusahaan gabungan PLN dan Pertamina.
“Itu sudah dicanangkan sejak 2017. Adanya eksplorasi proyek gheotermal ini, bukannya menjawab masalah mengenai energi murah. Tetapi justru mendatangkan dampak kerusakan alam serius,” tegasnya.
Selain menyebabkan kerusakan alam serius, akibat dari proyek tersebut juga menyebabkan rusaknya ekosistem alam. Dua mengungkapkan, hingga saat ini perusahaan masih melakukan eksplorasi titik yang terdapat panas bumi.
Namun, kebanyakan warga tidak mengetahui mengenai proyek tersebut karena tidak adanya keterbukaan informasi, atau melakukan kesepakatan terlebih dahulu dari pemerintah maupun perusahaan kepada warga.
“Jadi sifatnya itu dari atas ke bawah dan memaksa. Seolah-olah semua orang sudah tahu, mengerti dan menerima proyek tersebut. Padahal nggak semua warga setuju dan mengerti manfaat dari gheotermal itu,” ungkapnya.
Menurutnya, masyarakat banyak yang tak tahu proyek tersebut digunakan untuk apa dan bermanfaat bagi siapa. Karena itu, dia menilai proyek ini memiliki kecacatan prosedural, dengan tidak menerapkan praktik good governance.
Yaitu, konsep yang mengacu pada proses pengambilan keputusan dan pelaksanaannya yang dapat dipertanggungjawabkan secara bersama, terkait penerapan sebuah proyek.
Selain itu, Wahyu juga menyebut, jika melihat kasus-kasus proyek gheotermal lain. Seperti di PT. Sorik Marapi yang pernah mengalami kebocoran gas sehingga mengakibatkan ratusan warga Mandailing Natal, Sumatera Utara mengalami keracunan, pada Februari tahun 2024.
Lalu gagalnya eksplorasi sumur di Gunung Slamet yang menyebabkan tercemarnya sejumlah sungai dan mata air yang menyebabkan pertanian mati di tahun 2018.
“Ada juga proyek di Mataloko, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang mengalami kebocoran saat pengeboran sejak 20 tahun lalu dan membuat lahan pertanian sekitar mati dan tak produktif lagi. Lalu hal itu mau diulang lagi atau bagaimana?,” tegasnya.
Maka dari itu, ia menolak keras adanya pendirian Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di manapun. Karena dari beberapa temuannya juga, Wahyu mengungkapkan, bahwa titik panas bumi tidak akan selamanya berada di titik itu.
“Ada yang perlahan hilang atau bahkan tiba-tiba tidak ada lagi. Hal itu yang menjadi kekhawatirannya. Artinya proyek gheotermal ini akan terus mengeksplor dan mengebor ke berbagai titik,”katanya.
Dari pengeboran itulah, lanju Wahyu, akan berdampak terjadinya tanah longsor serta banjir karena ahli fungsi lahan. Apalagi jika melihat kondisi antara Kota Batu, Kabupaten Pasuruan dan Mojokerto. Dimana belum ada gheotermal saja sudah sering mengalami banjir serta longsor ketika curah hujan tinggi.
“Lalu apa kabar kalau proyek yang banyak memakan anggaran ini jadi direalisasikan. Maka yang jadi pertanyaan, gheotermal ini untuk kepentingan siapa jika akhirnya hanya merusak lingkungan,” tutupnya. (Ananto Wibowo)