MALANG POST – Di masa kampanye pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak, bertaburan baliho dan spanduk para pasangan calon (paslon) untuk berkampanye. Tetapi di alat peraga kampanye (APK) tersebut, juga muncul gambar-gambar anggota DPRD Kota Malang.
Gambar tersebut, juga bisa disebut sebagai bentuk kampanye. Yang dilakukan oleh pejabat daerah. Karena dalam UU nomor 23 tahun 2014, tentang Pemerintahan Daerah, pada pasal 148 ayat 2, disebutkan anggota DPRD Kota atau Kabupaten, adalah pejabat daerah di kota atau kabupaten tersebut.
Padahal dalam pasal 70 ayat 1 berbunyi, Gubernur dan Wagub, Bupati dan Wabup, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota. Pejabat negara lainnya, serta pejabat daerah, dapat ikut dalam kampanye dengan mengajukan izin kampanye, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
“Kenyataannya mereka tetap muncul dalam kampanye. Yang artinya, keterlibatan legislatif di Pilkada, disinyalir melanggar aturan. Utamanya UU Pilkada nomor 10 tahun 2016 dan UU nomor 23 tahun 2014. Tentang Pemerintahan Daerah, dimana DPRD adalah Pejabat Daerah,” ungkap pria berinisial SE, Senin (21/10/2024), dalam surat aduannya kepada Malang Post.
Ditambahkan lagi, dalam pasal 71 ayat 1, juga disebutkan pejabat negara, pejabat daerah, pejabat ASN, TNI dan POLRI, serta Kepala Desa atau Lurah. Dilarang membuat keputusan dan atau tindakan, yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon.
“Bisa kita ketahui bersama, di antara pejabat daerah (DPRD) yang sudah memasang gambarnya bersama-sama gambar paslon dalam APK, adalah keputusan atau tindakan yang salah. Kalau gambar parpolnya (kelembagaan) masih wajar sebagai partai pengusungnya,” sambung dia yang berprofesi praktisi hukum.
Permasalahan ini, menurutnya, bisa jadi tidak sampai terpikirkan oleh KPU dan Bawaslu Kota Malang. Terbukti, hingga sekarang belum ada peringatan atau teguran tertulis oleh keduanya. Kepada anggota DPRD yang terlibat sebagai tim pemenangan.
“Kami berkeyakinan mereka (anggota DPRD), merasa aman-aman saja. Karena dianggap tidak melanggar aturan dan tidak ada teguran tertulis. Semestinya, dari awal KPU dan Bawaslu sudah menjelaskannya ke anggota DPRD. Utamanya ada izin cuti, sebagaimana termaktub pada PKPU 13 tahun 2024 pasal 53 ayat 1,” bebernya.
Pihaknya berkeyakinan, surat izin cuti dari anggota DPRD yang terlibat timses, hingga saat ini belum disampaikan ke KPU. Padahal izin cuti itu harusnya sudah diserahkan ke KPU H-3 sebelum dimulainya kampanye.
“Itu baru perihal surat izin cuti saja, belum lagi terkait personalnya yang disebutkan oleh UU adalah pejabat daerah. Seperti apa implementasinya. Jelas di pasal 71 ayat 1 disebutkan dilarang mengambil keputusan atau tindakan yang bersifat menguntungkan dan atau merugikan salah satu paslon,” gamblangnya.
Terkait dugaan pelanggaran UU Pilkada atau ketidaksesuaian regulasi, Ketua KPU Kota Malang, Muhammad Toyib menilai, posisi pejabat daerah (DPRD) sama halnya ekskutif. Harus melakukan cuti, jika terlibat sebagai tim pemenangan atau timses dan ingin berkampanye.
“Anggota legislatif, baik provinsi maupun kota atau kabupaten, termasuk kategori pejabat daerah. Artinya tidak boleh berkampanye, kecuali sudah mengajukan cuti. Termasuk memasang banner dukungan terhadap paslon tertentu,” kata Toyib, dikutip dari Memorandum, Rabu (18/10/2024).
Disinggung sanksi jika terbukti ada pelanggaran, Toyib menukaskan, itu menjadi ranah Bawaslu Kota Malang. Karena terkait pemasangan banner anggora DPRD, yang notabene pejabat daerah.
“Kami melihat dibutuhkan adanya penegakkan regulasi dengan segera. Mengingat, pelaksanaan Pilkada tinggal menghitung hari,” imbuhnya.
Terpisah, Ketua Bawaslu Kota Malang, M Arifudin, justru menyebut jika Bawaslu hanya bergerak di sektor pelanggaran regulasi. Karena pihaknya bukanlah sang eksekutor. Melainkan sebatas memberikan rekomendasi atau imbauan kepada KPU.
“Hal itu, menjadi kewenangan penuh di KPU. Kami melihat permasalahan yang terjadi ini adalah produk hukum KPU bukan produk Bawaslu,” ujar Arifudin. (Iwan Irawan – Ra Indrata)