MALANG POST – Hari Batik Nasional diperingati setiap tanggal 2 Oktober momen bagi batik produksi Kota Batu berhasil menembus pasar ekspor Asia dan Eropa.
Kota Batu punya kerajinan batik berkualitas tinggi, tak kalah mentereng dengan kota batik Pekalongan. Bisa dibuktikan batik Kota Batu banyak diambil distributor asal Yogyakarta dan Surakarta.
Fenomena ini merupakan suatu hal sangat luar biasa karena Kota Batu adalah kotanya pariwisata, bukan kota batik. Meski demikian hasil kerajinan batiknya digandrungi dunia dan kota batik itu banyak dibuat.
Salah satu pengerajin batik Kota Batu yang paling dicari adalah karya Sumari. Pria asal Desa Pandanrejo, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu ini menjadi pengrajin batik sejak usia 20 tahun.
“Kota Batu terkenal sebagai kota wisata dan pertanian. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi kami sebagai pengrajin batik,” tutur Sumari, Rabu (2/10/2024).
Sebelum menjadi pengrajin batik diawali tahun 1991, Sumari hanya seorang pengerajin wayang kulit. Pria asli Kota Batu ini senang dengan hal-hal rumit dan butuh ketekunan.
MEMBATIK: Seniman batik Kota Batu, Sumari dan karyawannya saat membuat batik asli Kota Batu yang harganya tembus puluhan juta. (Foto: Ananto Wibowo/Malang Post)
“Saat itu saya berfikir, mumpung masih muda saya ingin mencoba membuat batik. Karena jika membuat wayang terus, seiring berjalannya waktu akan kesulitan di bahan baku. Karena batik merupakan hal baru, saya terus berlatih dan mengembangkan diri,” tuturnya.
Berkat keuletannya membawa Sumari menjadi seperti saat ini. Karya batiknya berkelas dunia. Harganya tembus puluhan juta. Hingga berhasil membuka lapangan pekerjaan bagi tetangga.
Kunci utama batik Sumari bisa tembus pasar dunia karena motifnya beragam. Tidak monoton. Batik Sumari punya ciri khas, yakni ada gambar apel di setiap balutan kainnya.
“Kalau modelnya hanya itu-itu saja, pasti orang tidak mau beli. Tapi kalau batik punya nilai lebih. Pasti pembeli akan tertarik walau harganya mahal,” ungkap pria usia 56 tahun itu.
Batik Sumari dibandrol mulai harga Rp1,5 juta hingga Rp50 juta per potong. Beberapa tahun lalu, dia pernah menjual batik seharga Rp68 juta kepada orang Belanda. Beberapa jenis batik yang diproduksinya, seperti batik Pakeman harganya mulai Rp7 juta per potong.
Ada juga batik Sekar Jagat dan Cumikan. Ini merupakan batik kasta tertinggi yang dibuat Sumari. Harganya mencapai Rp50 juta per potong. Harga itu sebanding dengan kerumitan dan lamanya proses produksi, yang bisa mencapai satu tahun lebih.
Dari kerajinan batik, dalam satu tahun Sumari berhasil meraup omzet sekitar Rp1 miliar.
Sekarang batik termahal yang sedang diproduksi harganya Rp50 juta dan sudah dinanti-nanti pembeli.
“Karena itu, kalau ingin batiknya dicari orang harus benar-benar menekuni. Kemudian setiap pembuatan batik harus ada filosofi, mulai dari proses cantingan hingga jadi batik,” tuturnya.
Keindahan batik Sumari benar-benar diakui dunia. Menyusul batik Sumari telah mendapatkan label ‘Batik Mark’. Tak mudah mendapatkan label tersebut. Butuh proses dan tahapan panjang yang perlu dilalui.
“Batik Mark ini seperti SNI-nya batik dunia. Untuk mendapatkannya, harus di uji secara nasional di Balai Penelitian Batik Yogyakarta. Setelah mendapat lisensi dan kode batik, baru bisa melakukan pemasaran secara internasional,” jelas dia.
Pasar internasional yang telah menjadi langganan Batik Sumari di antaranya adalah Belanda, Amerika, Jepang, Singapura, Malaysia dan sejumlah negara lainnya.
Selain mengekspor ke negara-negara tersebut, juga banyak pembeli luar negeri yang datang langsung ke gerai batik Sumari.
“Orang luar negeri itu paling senang melihat proses pembuatan batik secara langsung. Meski hasilnya kurang, mereka tetap senang,” urai Sumari.
Sumari berbagi tips untuk pengrajin batik di Kota Batu agar menarik pembeli. Menurut dia, kuncinya adalah kualitas harus selalu terjaga dan punya stok batik siap order.
“Kalau ingin usaha batik sukses, harus berani membuat stok dan selalu menjaga kualitas. Tapi kalau batiknya acak-acakan dan tidak ada stok kemudian ketika ada tamu datang tidak siap, maka akan sulit untuk berkembang,” tutup Sumari. (Ananto Wibowo)