MALANG POST – Kekecewaan bisa menjadi pintu masuk, adanya seseorang meyakini paham radikalisme.
Selain kondisi seseorang yang tidak baik, juga bisa mempengaruhi keinginannya, untuk lebih mengenal paham radikalisme.
Hal itu disampaikan mantan anggota HTI, Zamroni Fauzan, saat menjadi narasumber talkshow di program Idjen Talk. Yang disiarkan langsung Radio City Guide 911 FM, Selasa (6/8/2024).
Kata Zamroni, kondisi yang dimaksud seperti keluarga yang tidak harmonis, lingkungan yang tidak menerima. Sampai kondisi negara yang dirasa tidak sesuai dengan pemahamannya.
“Kondisi tersebut, membuat seseorang mencari tempat lain, untuk melampiaskan rasa kekecewaannya itu. Salah satunya melalui gerakan-gerakan yang bisa memberikan pemahaman radikalisme,” katanya.
Radikalisme itu sendiri, sebut Guru Besar Pascasarjana Universitas Islam Malang, Prof. Maskuri, adalah sebagai tindakan yang saat ini menjadi bahasan serius di Indonesia. Karena justru yang menjadi sasaran anak muda sebagai generasi penerus.
Prof Maskuri juga menjelaskan, ada beberapa ciri radikalisme. Seperti tekstualis, eksklusif, kaku, fundamentalis dan bersemangat mengoreksi orang lain dengan kekerasan.
“Selain itu, mereka juga merasa memiliki musuh, tapi tidak jelas identitasnya. Sampai lebih senang memilih jalan peperangan, dengan memakai isu-isu penegakan Islam,” katanya.
Bahkan golongan radikalisme, katanya, biasanya secara suka suka mengkafirkan orang.
Saat ini, peran semua pihak penting. Seperti negara dengan regulasi soal paham radikalisme, sampai orang tua dalam pemantauan putra-putrinya.
“Sementara media sosial, juga sangat efektif dalam mengedukasi masyarakat. Entah itu positif maupun negatif,” lanjutnya.
Karena informasi-informasi di sosial media yang mudah sekali di akses masyarakat, lanjutnya, biasa ditumpangi dengan urusan urusan tertentu. Apalagi target radikalisme anak-anak muda, yang sangat familiar dan cepat mengakses segala hal melalui sosial media.
Prof. Maskuri menambahkan, Indonesia sebagai negara yang terbesar masyarakatnya mengakses sosial media. Ada lebih dari 70 juta orang yang mengakses. Sehingga kerawanan radikalisme juga sangat besar. (Wulan Indriyani-Ra Indrata)