Malang Post – Tim Hukum DPP PDI Perjuangan menggugat Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI ke Pengadilan Tinggi Usaha Negara (PTUN) karena telah menerima Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai kandidat di Pilpres 2024.
Dalam gugatannya yang sudah diterima oleh PTUN, mereka meminta KPU RI agar menunda penetapan pasangan calon nomor urut dua itu yang diagendakan pada Rabu (24/4/2024) hari ini.
“Saya harus menegaskan sidang putusan hari ini di PTUN dipimpin oleh Ketua PTUN Jakarta,” ujar salah satu Tim Penasihat Hukum Topane Gayus Lumbuun dalam konferensi pers di Kantor DPP PDIP, Jakarta Pusat, Selasa (23/4/2024).
“Hasil dari putusan yang disampaikan adalah permohonan kami layak untuk diproses dalam sidang pokok perkara karena apa yang kami temukan seluruhnya tadi pagi menjadi putusan ini,” sambungnya.
Lebih lanjut, Gayus juga mengaku bahwa pihaknya telah mendatangi KPU RI untuk menyampaikan putusan hakim PTUN karena menurutnya putusannya itu dianggap layak.
“Bahwa hasil putusan dismissal PTUN hari ini memberikan harapan besar bagi kami untuk nantinya pada proses persidangan apa yang telah diputuskan kami dianggap layak untuk dilanjutkan tadi, menjadikan satu celah hukum ini masih bisa ditegakkan di negara kita, artinya hukum masih berdaulat di negara kita,” kata Gayus.
Lebih lanjut, Gayus pun yakin gugatan di PTUN ini akan terungkap semuanya bahwa KPU RI telah melawan hukum karena menerima Gibran sebagai calon wakil presiden.
“Kalau saya katakan justru di PTUN inilah akan terbaca, terungkap semua persoalan karena adanya pelanggaran hukum oleh penguasa. Dan ini akan keungkap,” imbuhnya.
Gayus menerangkan bahwa KPU seharusnya taat hukum dalam menjalankan peraturan. Dengan diterimanya gugatan PDIP ke persidangan, Gayus menyampaikan KPU RI harus menunggu proses pengadilan dan tidak menetapkan Prabowo-Gibran.
“Itu yang kami inginkan supaya jangan ada justice delay. Jadi keadilan yang terlambat nanti kalau buru-buru ditetapkan. Bersabar, beri kesempatan hukum untuk menentukan apakah penguasa yang menyalahgunakan kekuasaan ini sudah patut untuk memutuskan atau menetapkan,” kata Gayus.
Dia menegaskan permohonan yang diajukan ke PTUN secara hukum berbeda dengan yang dimohonkan para pihak pemohon di Mahkamah Konstitusi (MK) RI.
Jika di MK menyidangkan mengenai hasil proses pemilu, sementara di PTUN ialah menelusuri bahwa apakah ada pelanggaran oleh pejabat negara yang bernama KPU.
“Dan apakah ada pelaksanaan pemilu yang dilakukan oleh penguasa aparatur negara yang menyimpang, ini tugas kami. Sehingga apa yang kami ajukan adalah satu proses yang bermuara kepada apa yang disebut sebagai dalam bahasa hukum administrasi,” kata Gayus.
Dalam gugatan di PTUN, Gayus menyatakan pihaknya akan menyodorkan adanya pelanggaran-pelanggaran, sehingga hasil pemilunya berubah atau ada konflik lainnya.
Seain itu, Tim Kuasa Hukum PDIP juga ingin menunjukkan adanya pelanggaran proses oleh KPU.
“Kami harapkan agar keputusan hakim ini yang memiliki ruang hukum untuk melakukan prosesnya yaitu harapan kami KPU harus bisa menyadari, KPU harus taat hukum,” ucap Gayus.
“Hukum itu bisa berdaulat di negara ini, yang menunda penetapan pasangan yang dianggap menang yang sudah final and binding yang tidak begitu utuh. Karena masih ada persoalan baru yang dipersoalkan di pengadilan lainnya yaitu Pengadilan Tata Usaha Negara yang akan menyidangkan apakah ada pelanggaran, apakah ada pembiaran itu kira-kira,” tandasnya. (*/disway/raindrata)