Malang Post – Tahun 2024, kasus korupsi di Indonesia kian jadi sorotan. Terbaru, kasus korupsi di PT Timah yang merugikan negara sekitar Rp217 triliun.
Jika tidak diatasi sejak dini, dampaknya tidak hanya merugikan keuangan negara saja, tetapi juga memicu potensi peningkatan praktik korupsi di seluruh lapisan masyarakat. Lantas, apa yang bisa dilakukan pemerintah untuk mengurangi hal ini?
Mengintegrasikan pembelajaran anti-korupsi dalam muatan kurikulum rupanya dapat membantu mewujudkan Indonesia bebas korupsi.
Hal ini disampaikan oleh Dr. Nurul Zuriah, M.Si., dosen Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Alasannya, pembelajaran anti-korupsi dapat membentuk karakter siswa dengan nilai-nilai integritas dan kejujuran.
“Melalui pendidikan anti-korupsi, dapat memberikan kesempatan bagi siswa untuk memahami akar permasalahan korupsi, mengenali tindakan-tindakan yang melanggar integritas, dan mengembangkan kesadaran akan pentingnya etika dan transparansi dalam kehidupan sehari-hari,” jelas Nurul.
Terlebih, pendidikan anti-korupsi juga diharapkan dapat membentuk karakter anak bangsa yang berintegritas dan berani menolak korupsi. Serta, mengajarkan pemahaman tentang dampak negatif korupsi baik pada individu maupun masyarakat secara keseluruhan. Sehingga, dapat membangun generasi yang lebih sadar akan dampak negatif dari korupsi.
Dalam hal ini, Nurul juga menyoroti bahwa pembelajaran anti-korupsi harus merata di semua tingkatan pendidikan, mulai dari sekolah dasar hingga menengah ke atas. Lebih dari itu, metode pembelajaran yang interaktif dan praktis perlu diadopsi untuk memotivasi siswa berpikir kritis, berdiskusi, bermain peran dan melakukan kunjungan lapangan guna menginternalisasi nilai-nilai anti-korupsi secara lebih efektif.
“Pastikan bahwa pelajaran anti-korupsi tidak hanya menjadi ‘mata pelajaran tambahan’ saja, tetapi terintegrasi secara holistik dalam seluruh kurikulum. Ini dapat mencakup aspek etika, hukum, dan tanggung jawab sosial,” tegasnya.
Oleh karena itu, dalam mewujudkan sekolah berbudaya anti-korupsi, Nurul berpendapat bahwa memerlukan tiga pilar.
Pertama, Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang transparan, profesional, dan akuntabel. Kedua, integritas nilai-nilai anti-korupsi dalam kurikulum dan praktik sehari-hari di sekolah. Serta, keterlibatan orang tua, komunitas dan lembaga terkait dalam mendukung pendidikan anti-korupsi.
“Meskipun hal ini akan berdampak menyeluruh, tetapi terdapat beberapa tantangan yang akan diatasi para pengajar dalam implementasi pendidikan anti-korupsi. Misalnya saja, keterbatasan sumber daya termasuk buku teks, materi ajar, dan pelatihan untuk pengajar. Sehingga, para guru harus berinovasi untuk mengatasi hal ini,” tambahnya.
Tantangan selanjutnya adalah datang dari kesadaran dan minat siswa dalam mempelajari anti-korupsi. Tantangan ini menuntut para pengajar untuk menggunakan metode menarik dan relevan agar siswa tertarik dalam memahami materi..
Jika pembelajaran anti-korupsi resmi direalisasikan dalam muatan kurikulum, maka hal ini juga berdampak bagi pemerintah. Tentunya, menghasilkan warga negara yang lebih bertanggung jawab dan berintegritas, yang pada gilirannya dapat mengurangi tingkat korupsi di Indonesia.
“Namun, tanpa informasi lebih lanjut pengajar tidak dapat memberikan saran spesifik. Secara umum penting bagi pemerintah untuk memperhatikan masukan dari para pendidik dan ahli pendidikan dalam upaya mengembangkan kurikulum anti-korupsi yang lebih efektif,” pungkasnya. (M. Abd. Rahman Rozzi)