Malang Post – Dikukuhkan menjadi guru besar di waktu bersamaan dengan pasangan, adalah impian banyak orang.
Hal itu pula yang terjadi pada sepasang suami istri (pasutri), yang berhasil meraih gelar tertinggi dalam aspek akademik.
Mereka adalah Prof. Dr. Ir. Aris Winaya, M.M., M.Si., IPU, ASEAN Eng. dan Prof. Dr. Ir. Maftuchah, M.P. Keduanya sama-sama mengabdi di Fakultas Pertanian dan Peternakan (FPP) Universitas Muhammadiyah Malang.
Sungguh sayang pada hari pengukuhan tersebut, masih diselimuti duka. Prof Maftuchah, berpulang hanya beberapa minggu sebelum dikukuhkan.
Sehingga Prof. Aris yang juga Dekan FPP UMM tersebut, dikukuhkan sendiri tanpa istrinya. Sementara Prof Maftuchah, dianugerahi dan dikukuhkan sebagai guru besar anumerta.
Selain menyajikan orasi ilmiah menarik, prosesi pengukuhan tersebut juga menceritakan bagaimana Prof. Aris dan Prof. Maftuchah, saling mendukung satu sama lain. Hingga mencapai titel guru besar.
Prof. Aris menceritakan kisah pada tahun 1994, di mana ia dan istri menikah. Kemudian penantian panjang selama sembilan tahun, untuk mendapatkan anak.
Bahkan juga perjuangan Maftuchah yang harus menyelesaiikan studi di Bogor saat masih hamil. Serta upaya Aris bolak balik Malang-Bogor, untuk menemani sang istri sembari menjalankan tugas sebagai dosen di UMM.
Dalam orasi ilmiahnya, Prof. Aris menjelaskan mengenai aplikasi teknologi DNA, dalam penguatan strategi konservasi sumber daya genetik ternak di Indonesia.
Beberapa negara yang telah berkomitmen untuk mempertahankan potensi genetik ternak lokal akan terus mengamati tren perkembangan bidang peternakan.
“Di sisi lain, teknik genetika molekuler diperkirakan akan memiliki dampak yang cukup besar di masa depan. Misalnya tes berbasis DNA untuk gen yang mempengaruhi sifat kualitatif yang sulit diukur saat ini, seperti kualitas daging atau ketahanan terhadap penyakit,” katanya.
“Hal Ini juga akan membuka jalan menuju kemungkinan kemajuan dalam evolusi biologi, pemuliaan hewan dan hewan model untuk penyakit manusia,” imbuhnya.
Ia mencontohkan, seleksi genomik yang seharusnya bisa meningkatkan dua kali lipat keuntungan genetik dalam industri susu. Meski begitu, ada tantangan tersendiri.
“Tantangannya revolusi dalam bidang pemuliaan ternak sebagai alat dan teknik yang berbeda dengan pemuliaan konvensional selama ini,” ujar Prof. Aris.
Terkait ternak Indonesia, Prof. Aris yakin bahwa studi tentang keragaman breed sapi lokal Indonesia berbasis DNA akan mencerminkan variasi genetik mereka dari sisi esensi. Apalagi, saat ini sumber daya genetik sapi-sapi asli Indonesia semakin menurun tajam. Maka studi tentang keragaman breed sapi asli Indonesia semakin penting.
“Konservasi keanekaragaman genetik ternak lokal harusnya sudah menjadi program yang wajib diimplementasikan,” tegasnya.
Sementara orasi ilmiah yang sudah disusun Prof. Maftuchah, tersampaikan melalui teknologi AI. Orasinya membahas mengenai pengembangan teknologi budidaya tanaman jarak pagar (jatropha curcas linn) untuk mendukung ketersediaan sumber bahan bakar biodiesel.
Tanaman jarak pagar memiliki sejarah panjang, terutama pemanfaatannya sebagai bahan bakar nabati. Saat penjajahan Jepang, biji dari buah tanaman jarak ini dapat dimanfaatkan sebagai sumber bahan bakar penerangan maupun minyak bakar.
Namun, hingga saat ini pengembangan tanaman jarak pagar masih belum signifikan, bahkan cenderung tidak diutamakan, terutama terkait pemanfaatannya untuk sumber energi.
Menurut orasinya, penanaman tanaman jarak pagar perlu diupayakan pada daerah-daerah marginal Jika ditanam pada lahan produktif, maka akan berkompetisi dengan tanaman pangan sehingga nilai ekonomisnya menjadi rendah dan petani tidak tertarik untuk budidaya tanaman jarak pagar.
Edukasi tentang pemanfaatan biji buah jarak untuk bahan bakar nabati juga harus tetap dilakukan, diikuti dengan pengembangan teknologinya, terutama dalam penggunaannya sebagai biofuel. (M. Abd. Rahman Rozzi)