Malang Post – Kasus perundungan atau bullying, masih menjadi salah satu permasalahan krusial di lingkungan pendidikan.
Terbaru, media sosial dihebohkan dengan kasus perundungan, yang diduga melibatkan salah satu anak selebriti tanah air. Yang terjadi di lembaga pendidikan.
Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), merilis data kasus bullying atau perundungan di sekolah tahun 2023.
Sejak Januari hingga September, tercatat ada 23 kasus bullying. Dari 23 kasus tersebut, 50 persen terjadi di jenjang SMP, 23 persen di jenjang SD, 13,5 persen di jenjang SMA dan 13,5 persen di jenjang SMK.
Kasus paling banyak terjadi di jenjang SMP dan dilakukan oleh sesama siswa maupun dari pendidik.
Ramainya kasus tersebut, ditanggapi Samsul Arifin, dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang.
Ari menyebut, di usia remaja, rasa ingin tahu cenderung sangat tinggi. Kondisi ini dibarengi dengan munculnya keinginan untuk menjadi ‘si paling nomor satu’.
“Pada masa ini, banyak anak remaja yang haus akan validasi eksternal. Mereka cenderung untuk berani melakukan segala sesuatu. Bahkan cenderung ekstrem, agar bisa mendapatkan validasi eksternal itu,” ujar Ari, Kamis (22/2/24)
Ari menilai, persoalan utamanya adalah tidak adanya instrumen khusus, yang dibuat untuk mencegah hal tersebut.
Secara teknis, sebenarnya sudah ada UU No 35 Tahun 2014, Tentang Perlindungan Anak dan UU No 11 Tahun 2012, Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).
Akan tetapi, dua undang undang tersebut, lebih banyak mengatur terkait dengan penindakan, bukan pencegahan secara masif.
Pasal 54 ayat (1) UU No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menyatakan: anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib, mendapatkan perlindungan dari tindakan kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual dan kejahatan lainnya, yang dilakukan oleh pendidik, tenaga pendidik, sesama peserta didik dan atau pihak lain.
Apakah pelaku dapat diminta pertanggungjawaban pidana? Tentu secara tidak langsung siapa yang berbuat, dia yang harus bertanggungjawab.
Namun dalam UU SPPA menganut restorative justice, yang dikenal dengan istilah Diversi.
“Hal ini sebenarnya bagus. Karena diversi bertujuan untuk menyelesaikan suatu perkara pidana, dengan tetap menjaga tumbuh kembang seorang anak.”
“Persoalan muncul karena tidak semua orang tua, memiliki perspektif yang sama. Sehingga proses diversi menjadi ajang adu kekuatan antar orang tua anak,” imbuh Ari lagi.
Di satu sisi, undang-undang mengatur bahwa tidak bisa dengan mudah, untuk melakukan penahanan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.
Bahkan dalam pasal 32 ayat (2) UU SPPA mengatur terkait dengan syarat penahanan. Bahwa seorang anak yang berhadapan dengan hukum bisa ditahan manakala, (1) anak tersebut telah berusia minimal 14 tahun, dan (2) tindak pidana yang dilakukan harus diancam dengan pidana penjara minimal 7 tahun atau lebih.
“Dalam kasus perundungan ini, seharusnya menjadi bahan evaluasi. Bahwa dalam perkara anak, UU perlindungan anak dan UU SPPA, belum utuh dapat menjadi solusi terhadap persoalan perundungan anak, yang sampai saat ini masih sering terjadi di sekolah,” pungkas Ari. (M. Abd. Rahman Rozzi)