Pendahuluan
Dalam melihat status kebebasan berbicara di Indonesia, artikel oleh Kusuma (2016) yang berjudul “Power and Free Speech: The Elites’ Resistance to Criticism in Indonesia”, mengeksplorasi resistensi elit terhadap kritik dalam konartikel perjalanan politik Indonesia pasca-jatuhnya rezim Suharto.
Meskipun Indonesia beralih ke demokrasi, penulis menunjukkan bahwa kebebasan berbicara tetap terbatas, dengan adanya undang-undang yang memriminalisasi pencemaran nama baik di dunia maya.
Artikel oleh Kusuma akan dikomparsi dengan peenlitian oleh Nabila & Maharani (2023) berjudul “The Rights and Restrictions of Freedom of Speech in Social Media and the Digital Era” mengenai hak asasi manusia.
Lebih fokus pada analisis kebijakan pemerintah dan pengaturan hukum terkait kebebasan berbicara; serta artikel oleh Priyanto & Sardi (2020) berjudul “The Urgency of Protecting Netizen in Freedom of Speech on Social Media” secara lebih khusus, mengulas status kebebasan berbicara di Indonesia dengan menyoroti UU ITE, khususnya dalam konartikel media sosial.
Artikel ini menyoroti implementasi UU ITE yang kontroversial dan menciptakan lingkungan di mana netizen merasa terbatas untuk bersuara.
Perbandingan antara ketiga artikel ini menjadi penting karena masing-masing mendekati isu kebebasan berekspresi dengan fokus yang berbeda, mulai dari resistensi elit politik, analisis kebijakan pemerintah, hingga dampak konkret UU ITE pada warga negara.
Dengan membandingkan temuan dan perspektif dari tiga artikel ini, kita dapat memahami lebih baik bagaimana ketidakjelasan dalam hukum dan ketakutan akan konsekuensi dapat membatasi kebebasan berbicara di Indonesia.
Perbandingan ini dapat memberikan wawasan yang lebih kaya dan holistik mengenai dinamika kebebasan berbicara di era digital, serta memberikan dasar untuk merekomendasikan perbaikan dalam kerangka hukum yang ada.
Opini
Artikel 1, 2 dan 3 menyajikan analisis mendalam tentang resistensi elit dan kebebasan berbicara di Indonesia.
Artikel 1 menyoroti sejarah politik, fokus pada peran militer dan dampak kolonial dalam membentuk sikap elit terhadap kritik.
Sementara Artikel 2 membahas kebijakan pemerintah terkait kebebasan berbicara, terutama di era digital, menyoroti undang-undang ITE dan peran media sosial.
Artikel 3 memberikan pandangan kritis terhadap ITE Law, menekankan hak fundamental kebebasan berbicara. Integrasi ketiga artikel memberikan pemahaman holistik tentang tantangan ini, menunjukkan kompleksitasnya dalam konartikel sejarah, hukum, dan media sosial di Indonesia.
Artikel 1 memberikan analisis komprehensif terhadap tantangan kebebasan berbicara di Indonesia dengan fokus pada resistensi elit terhadap kritik. Meskipun demikian, terdapat beberapa aspek yang perlu mendapat perhatian lebih lanjut.
Pertama, analisis sejarah Text 1 dianggap selektif oleh Artikel 2 karena terlalu fokus pada dampak kolonialisasi Belanda dan rezim Orde Baru. Artikel 2 berpendapat bahwa analisis tersebut tidak memadai dalam menggambarkan pergeseran budaya dan sosial yang lebih luas, terutama di era digital.
Kedua, Text 1 lebih menekankan faktor internal dan peristiwa sejarah tanpa melakukan analisis perbandingan dengan negara-negara lain yang mengalami transisi menuju demokrasi.
Artikel 2 berargumen bahwa analisis perbandingan dapat memberikan perspektif yang lebih luas terhadap tantangan yang dihadapi oleh Indonesia.
Terkait dengan kerangka hukum, Text 1 hanya menyebutkan undang-undang pencemaran nama baik tanpa menjelajahi nuansa hukum secara mendalam.
Artikel 2 berpendapat bahwa pemeriksaan yang lebih mendalam terhadap kerangka hukum, termasuk amendemen terbaru dan kasus-kasus hukum, penting untuk pemahaman yang komprehensif.
Meskipun demikian, Artikel 2 memberikan pengakuan terhadap konartikel sejarah yang mendalam yang disajikan oleh Text 1, yang melacak perkembangan kebebasan berbicara melalui rezim politik yang berbeda. Ini dianggap sebagai landasan penting untuk memahami tantangan saat ini.
Text 1 juga berhasil mengenali tantangan yang terkait dengan kebebasan berbicara, termasuk hukum pencemaran nama baik dan peran “gatekeepers.”
Artikel 2 setuju bahwa kebebasan berbicara, meskipun penting, memiliki kompleksitas dan konsekuensi yang perlu diakui.
Dari sisi Artikel 2, komendasi diberikan Text 2 terhadap aspek hukum kebebasan berbicara di era digital. Ini dianggap sebagai dimensi yang sering diabaikan dan dapat memberikan kontribusi pada pemahaman Text 1 dengan analisis hukum yang lebih rinci.
Artikel 2 juga memberikan konartikel global terhadap kebebasan internet dengan merujuk pada pandangan Frank La Rue. Meski Text 1 mungkin berpendapat bahwa memahami tantangan Indonesia dalam konartikel tren global perlu diperhatikan untuk pandangan yang holistik.
Selain itu, Text 1 mengakui bahwa Text 2 memberikan gambaran kebijakan pemerintah yang jelas terkait kebebasan berbicara di media sosial. Kekristalan ini dianggap penting agar pembaca dapat memahami lanskap regulasi.
Namun, disarankan bahwa untuk memahami tantangan kebebasan berbicara di Indonesia dengan lebih baik, diperlukan pendekatan interdisipliner yang melibatkan faktor-faktor seperti ekonomi, pendidikan, dan perkembangan teknologi (Sulianta, 2020).
Selain itu, suara masyarakat sebagai subjek yang terlibat aktif dalam demokrasi perlu diperkuat, dan dinamika baru yang dibawa oleh teknologi digital, seperti hoaks dan disinformasi, juga perlu menjadi fokus perhatian dalam analisis kebebasan berbicara secara menyeluruh.
Dengan demikian, kesimpulan dapat diambil bahwa kombinasi antara analisis sejarah, hukum, dan aspek-aspek lainnya akan memberikan pemahaman yang lebih holistik terhadap tantangan kebebasan berbicara di Indonesia.
Dalam review terhadap Artikel 1 dan 3, Artikel 1 menyatakan bahwa jatuhnya rezim Suharto di Indonesia, tidak membawa perbaikan signifikan dalam kebebasan berbicara, menyoroti undang-undang tahun 2008 yang mengkriminalisasi pencemaran nama baik di Internet.
Artikel 3, pada dasarnya, mendukung argumen Artikel 1 dengan memberikan contoh tambahan seperti penuntutan akun Twitter @TrioMacan2000 dan langkah-langkah hukum untuk membungkam kritik online.
Namun, Artikel 3 menambah kedalaman dengan merinci faktor-faktor yang menyebabkan resistensi elit, seperti reformasi institusi yang belum sempurna, pengaruh terus-menerus dari elit Orde Baru, dan norma sosial yang tidak berubah.
Meskipun keduanya memberikan analisis yang koheren, penting untuk mempertimbangkan perkembangan demokrasi dan kompleksitas perubahan sosial.
Beberapa mungkin berpendapat bahwa transformasi budaya politik dan dinamika kebebasan berbicara suatu negara memerlukan waktu lebih lama dari yang diharapkan.
Selain itu, faktor eksternal, seperti kemajuan teknologi global dan dampaknya terhadap kebebasan berbicara, perlu dijelajahi untuk memberikan pandangan yang lebih komprehensif (Hakim & Anshori, 2021).
Dalam mendukung Artikel 1, Artikel 3 mengonfirmasi adanya undang-undang yang membatasi kritik online dan memberikan contoh, pemerintah menggunakan langkah-langkah hukum untuk menekan perlawanan.
Namun, perlu diakui contoh di mana kebebasan berbicara telah meningkat atau diungkapkan lebih terbuka. Kasus-kasus di mana individu atau kelompok berhasil menyatakan ketidaksetujuan tanpa konsekuensi serius bisa memberikan perspektif yang lebih nuansa tentang keadaan kebebasan berbicara di Indonesia (Sudibyo, 2001).
Artikel 1 menekankan pengaruh sejarah, termasuk kolonialisme Belanda dan pemerintahan otoriter, dalam membentuk sikap elit terhadap kritik.
Artikel 3 memperluas konartikel sejarah dengan membahas peran Tentara di setiap rezim dan dampak Orde Baru dalam membatasi kebebasan berbicara.
Meskipun warisan sejarah penting, perlu diakui bahwa faktor-faktor saat ini dan peran media baru juga memainkan peran dalam dinamika politik kontemporer (Mangkurat & Mirajiah, 2023)
Dalam penekanannya pada demokrasi dan kebebasan berbicara, Artikel 1 menyatakan bahwa meskipun Indonesia telah beralih ke demokrasi, latihan kebebasan berbicara tetap terbatas.
Artikel 3 mendukung klaim ini dan mengidentifikasi tiga faktor utama yang berkontribusi terhadap perlawanan elit, termasuk tantangan reformasi institusi yang belum sempurna.
Namun, untuk perspektif yang seimbang, akan bermanfaat untuk mengeksplorasi solusi potensial atau jalur perbaikan dalam membentuk lingkungan yang lebih terbuka bagi kebebasan berbicara.
Terakhir, Artikel 1 membahas peran media dan budaya politik, menekankan dampak konglomerat keluarga dan evolusi kebebasan berbicara seiring kemajuan teknologi.
Artikel 3 memperkenalkan konsep “gatekeepers” dan berpendapat bahwa gatekeepers telah membatasi individu biasa dalam berkomunikasi secara bebas sepanjang sejarah.
Namun, perlu dipertimbangkan peran media alternatif dan platform online dalam menantang gatekeepers tradisional, dan contoh di mana media sosial memberdayakan individu biasa untuk menyatakan ketidaksetujuan dapat memberikan perspektif yang lebih optimis tentang potensi perubahan (Prita et al., 2019).
Kesimpulan
Sebagai kesimpulan, sementara Artikel 1 dan 3 sejalan dalam penilaian keseluruhan tantangan kebebasan berbicara di Indonesia, nuansa yang disajikan dalam Artikel 3 memberikan kedalaman pada diskusi.
Menggabungkan analisis sejarah dengan pertimbangan faktor-faktor saat ini dan solusi potensial dapat mengarah pada pemahaman yang lebih komprehensif tentang dinamika kompleks seputar kebebasan berbicara di Indonesia.
Dalam melihat status kebebasan berbicara di Indonesia, artikel oleh Kusuma (2016) mengeksplorasi resistensi elit terhadap kritik pasca-jatuhnya rezim Suharto. Meskipun Indonesia beralih ke demokrasi, kebebasan berbicara tetap terbatas, ditandai dengan undang-undang yang membatasi di dunia maya. Perbandingan dengan artikel Nabila & Maharani (2023) dan Priyanto & Sardi (2020) memberikan wawasan holistik mengenai isu ini.
Artikel 1 memberikan pemahaman konartikeltual melalui analisis sejarah dan politik, fokus pada resistensi elit terhadap kritik.
Namun, Artikel 2 dan Artikel 3 menambah dimensi hukum dan dampak UU ITE terhadap kebebasan berbicara, memberikan pandangan mendalam pada aspek kebijakan pemerintah. Artikel 2 menyoroti kelemahan analisis sejarah Artikel 1 yang dianggap terlalu fokus dan selektif.
Sanggahan ini memberikan pandangan bahwa pergeseran budaya dan sosial lebih luas perlu diperhitungkan, terutama dalam era digital. Dari segi kebebasan berbicara di media sosial, Artikel 1 dan Artikel 3 fokus pada UU ITE.
Meskipun mendukung klaim tentang pembatasan kebebasan berbicara, Sanggahan menekankan pentingnya mengakui perbaikan atau ekspresi terbuka yang berhasil, memberikan perspektif lebih nuansa.
Meskipun memiliki fokus yang berbeda, ketiga artikel memberikan pandangan tambahan tentang kebebasan berbicara di Indonesia. Dalam menggabungkan analisis sejarah, hukum, dan faktor-faktor saat ini, kita dapat memahami lebih baik tantangan dan kompleksitas kebebasan berbicara di era digital, memperkuat urgensi perbaikan dalam kerangka hukum yang ada. (***)
Penulis adalah:
Nama : Verent Gita Maya Dewi
NIM : 235120407141017
Prodi : Hubungan Internasional
Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Daftar Pustaka
Al Hakim, L., & Anshori, S. H. (2021). Konektivitasi Hate Speech, Hoaks, Media Mainstream dan Pengaruhnya Bagi Sosial Islam Indonesia. Jurnal Dakwah dan Komunikasi, 6(2), 149-168.
Sudibyo, A. (2001). Politik media dan pertarungan wacana. LkiS Pelangi Aksara.
Mangkurat, R. S. B., & Mirajiah, R. (2023). Politik Kontemporer: Tantangan Dan Prospek Dalam Membangun Demokrasi Yang Berkelanjutan. Journal of Government and Politics (JGOP), 3(2), 148-158.
Prita, P., Islam, A. B., & Reklamasi, A. B. T. (2019). Mempolitisasi Ruang Virtual: Posisi Warga-Net dalam Praktik Demokrasi Digital di Indonesia. Jurnal Ilmiah Manajemen Publik dan Kebijakan Sosial-Vol, 3(1).
Sulianta, F. (2020). Literasi Digital, Riset dan Perkembangannya dalam Perspektif Social Studies. Feri Sulianta.