Malang Post – Konflik antara Israel dan Palestina, tak kunjung mereda. Bahkan perang terbaru kembali pecah saat Hamas menyerang Israel, 7 Oktober lalu dan di balas Israel dengan serangan udara.
Septifa Leiliano Ceria, S.Sy., M.MECAS., Dosen Program Studi (Prodi) Hubungan Internasional (HI) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) menegaskan, perang Palestina dan Israel bukanlah konflik agama.
Dia menjelaskan, pada zaman sebelum Turki Usmani runtuh, bangsa arab di wilayah Yerusalem sangat damai dan tentram.
Bangsa Arab tersebut terdiri dari berbagai agama. Meliputi agama Islam, Kristen dan Yahudi. Namun terjadi ketimpangan tatkala Turki Usmani runtuh dan negara di timur dikuasai oleh Inggris.
Diperparah dengan efek perang dunia pertama di mana banyak sekali etnis Yahudi di luar wilayah Yerusalem tertindas pada masa kekuasaan Nazi.
Hal tersebut menyebabkan banyak sekali etnis Yahudi, yang berbondong-bondong untuk mengungsi di Yerusalem. Fenomena itu juga tidak lepas dari janji negara Inggris yang akan memberikan wilayah kedaulatan bagi etnis Yahudi di tanah Yerusalem.
“Wilayah tersebut adalah Palestina. Hal itulah yang mendorong etnis Yahudi terus melakukan perluasan wilayah di tanah itu. Oleh beberapa pihak dan oknum, isu yang harusnya perebutan wilayah digeser menjadi perang agama,” jelasnya.
Ano –panggilan akrabnya- juga memberikan beberapa strategi yang dilakukan untuk menyelesaikan perebutan wilayah tersebut.
Di antaranya dengan melakukan negosiasi antar negara-negara seperti Arab Saudi, Iran, Amerika, serta tentunya Israel untuk melalakukan kesepakatan terhadap hak asasi warga palestina.
Setelah itu dilanjutkan dengan membuat kesepakatan batas-batas wilayah antara Palestina dengan Israel. Hal itu bertujuan untuk menentukan batas-batas wilayah teritorial masing-masing negara.
“Seperti yang kita ketahui, Israel memang tidak menghendaki pengurangan wilayahnya, namun perlindungan hak warga palestina harus diperhatikan. Harus ada perjanjian khusus yang mengatur hal tersebut, kemudian baru dilanjutkan dengan kesepakatan atas pembagian wilayah,” ungkapnya.
Dia juga menawarkan beberapa langkah yang dapat dilakukan oleh Indonesia dalam konflik tersebut. Misalnya saja terkait isu kemanusiaannya dengan memberikan bantuan logistik makanan, pendidikan, hingga pengobatan bagi para korban perang.
“Isu kemanusiaan perlu kita angkat secara intensif. Apalagi mengingat jarak yang jauh antara Indonesia dan Palestina. Sehingga kecil kemungkinan untuk melakukan bantuan secara diplomasi,” ujarnya mengakhiri. (M. Abd Rahman Rozzi)