Malang Post – Guru besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Prof. Dr. Muchamad Ali Safa’at, S.H., M.H., menyebut ada empat kejanggalan putusan MK, yang menilai konstitusionalitas batas usia capres/cawapres. Khususnya dalam Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Ia menilai, perkara yang diputus MK merupakan putusan yang final dan terakhir. Karenanya tidak ada upaya hukum lain dapat ditempuh.
Kejanggalan pertama, menurut Prof. Ali, karena adanya penambahan norma yang semestinya tidak sesuai dengan konsep awal Putusan MK. Yaitu menguji norma yang ada untuk dinilai konstitusional atau inkonstitusional.
Sementara itu, dalam putusan MK mengabulkan permohonan perkara, untuk menambahkan norma baru yang sebelumnya tidak ada.
“Sebetulnya secara akademik, putusan MK tidak sesuai dengan konsep awal dari keberadaan Mahkamah Konstitusi, yang fungsinya itu menguji norma yang ada.”
“Sementara itu, permintaannya menambah norma. Kalau menguji norma yang ada, maka alternatifnya itu menguji (apakah) norma itu konstitusional atau tidak,” ujar dosen UB ini.
Kalau yang diuji adalah persyaratan usia 40 tahun, tambahnya, maka usia 40 tahun itu harus diputuskan sesuai dengan konstitusi atau tidak.
Menurutnya, putusan MK 40 tahun itu konstitusional. Tetapi ternyata kemudian ditambahkan syarat baru sehingga yang diuji bukan 40 tahun.
“40 tahun itu konstitusional, karena itu juga sudah ditegaskan dalam Putusan MK yang diputus hari Senin itu juga,” katanya.
Kejanggalan kedua, putusan MK tidak bisa terlepas dari suasana politis karena putusan memasuki tahapan pencalonan presiden dan wakil presiden.
Dalam putusan MK disebutkan secara jelas, pihak yang akan diuntungkan atas putusan MK, yakni Gibran Rakabuming, anak Presiden Jokowi sekaligus keponakan Ketua MK, Anwar Usman.
“Ya. Putusan ini tidak bisa dilepas dari konteks politik, karena putusan berkaitan dengan batas waktu pendaftaran calon presiden dan wakil presiden. Analisisnya pasti siapa yang diuntungkan dari putusan ini. Salah satu yang diuntungkan secara tegas disebutkan namanya dalam putusan itu. Contohnya Gibran sebagai anaknya Presiden Jokowi,” paparnya.
Dari situ, Prof Ali mengkhawatirkan munculnya pandangan bahwa ini merupakan salah satu agenda Presiden, untuk meloloskan Gibran sebagai calon wakil presiden.
Apabila posisi Ketua Mahkamah Konstitusi, mempunyai hubungan kekeluargaan dengan Presiden. Hal itu akan memunculkan persoalan, karena hakim tidak bisa berkaitan dengan perkara yang sedang ditangani.
Ketiga, lanjut Prof. Ali, putusan MK diputus tidak dengan suara bulat karena ada dissenting opinion dan concurring opinion antarmajelis hakim. Ada sejumlah hakim yang menyatakan mestinya dikabulkan, ditolak, bahkan seharusnya tidak diterima.
“Bervariasinya pendapat majelis hakim, sehingga jika kita membaca tidak dari perspektif hukum lantas ada pertanyaan pendapat mana yang perlu diikuti? Sementara untuk perspektif hukum maka pendapat hakim mayoritas itu yang harus diikuti,” ungkap guru besar UB ini.
Keempat, hal janggal lain terutama pertimbangan hakim yang dituangkan dalam dissenting opinion dan concurring opinion, yang tidak lazim terjadi dalam sejumlah Putusan MK.
Misalnya dissenting opinion yang disampaikan Prof. Arief Hidayat dan Prof. Saldi Isra, tentang proses pembentukan putusan, proses persidangan, proses berjalannya perkara, hingga perkara yang sempat dicampur.
“Menariknya, beberapa bisa disebut sebagai kejanggalan yang itu digabung sendiri oleh hakim konstitusi lewat dissenting opinion. Arif Hidayat, di situ ditunjukkan beberapa hal yang tidak biasa sebenarnya, irregular, dalam proses pembentukan keputusan, dalam proses persidangan, dalam proses berjalannya perkara, mulai dari perkara yang sempat dicampur, perkaranya sendiri yang dilakukan tanpa mendengarkan keterangan dari pemerintah dan DPR sebagai pembentuk UU, walaupun itu sebenarnya dimungkinkan dari perkara pengujian UU,” ujarnya.
“Ketika berujung pada pengabulan perkara pemohon, apalagi urusannya mendapat perhatian publik pada proses persidangan dilakukan secara retributif dan konkuren. (Bahkan) hakim mayoritas sendiri mengatakan ini isu yang berbeda,” tambah Prof. Ali.
Prof. Ali pun menanggapi persoalan open legal policy dalam Putusan MK, yang teori bisa saja berubah. Namun, baginya perubahan putusan MK idealnya tidak berubah dalam waktu singkat. Ia menggambarkan perubahan putusan MK bisa saja berubah karena perkembangan masyarakat yang berubah.
“Secara teoritis putusan pengadilan memang bisa berubah (termasuk Putusan MK), akan tetapi tentu saja perubahan disitu terjadi pada saat ada kondisi yang memang berbeda,” ungkapnya.
Terkait perubahan putusan MK terjadi dengan dua hal. Pertama, ketika argumentasi yang lebih kuat untuk bisa membatalkan argumentasi sebelumnya dan karena perkembangan masyarakat itu perkembangan yang evolutif.
Kedua yang argumentasi itu tidak bisa kita mengubah argumentasi dalam waktu singkat, argumentasi itu pasti dibangun kepada perubahan teori dan sebagainya, karena pasti perubahan itu terjadi dalam waktu cukup lama.
Perubahan substansi putusan itu memang hal yang wajar. Namun, terang Prof Ali, biasanya terjadi dalam waktu yang lama. Kalau misalnya terjadi dalam waktu singkat maka muncul pertanyaan, utamanya berkaitan dengan dugaan intervensi dari pihak yang berkepentingan.
“Apa yang lalu bisa mengubah secara cepat? Itu yang lalu diindikasikan bahwa pada intervensi kepentingan yang lain yang tertentu. Dan kalau dikatakan apakah wajar ya tentu tidak wajar karena bertentangan dengan kebiasaan dari lembaga pengadilan.”
“Perubahan itu dapat saja terjadi tapi memakan waktu yang cukup lama. Kenapa? Karena itu tadi ada perubahan masyarakat, ada perubahan kerangka teoritis dan lainnya,” tutup Prof Ali. (M. Abd. Rahman Rozzi)