Malang Post – Nilai sisa lebih pembiayaan anggaran (SiLPA) Pemkot Batu dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini cukup besar. Dari tahun ke tahun, Pemkot Batu masih gagal menuntaskan permasalahan itu. Dengan adanya hal itu, jadi sorotan oleh pihak eksekutif.
Karena rendahnya serapan keuangan daerah. Berdasar pada laporan audit BPK, SiLPA Kota Batu pada tahun 2022 lalu tembus hingga RpRp253,2 miliar. Jumlah itu naik 4,11 persen dibandingkan tahun 2011 lalu. Saat itu SiLPA tercatat sebesar Rp243,3 miliar.
Ketua Komisi C DPRD Kota Batu, Khamim Tohari menyatakan, tingginya SiLPA karena imbas dari lemahnya realisasi program kegiatan, yang disusun oleh OPD dan disepakati saat pembahasan penyusunan anggaran bersama legislatif. Sejatinya program kegiatan sangat penting. Karena menyangkut pelayanan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
“Kami melihat, besarnya SiLPA jadi problem utama selama 5 tahun terakhir. Ini menunjukkan, sisi perencanaan, penganggaran dan pelaksanaan masih lemah dan tidak akurat. Maka nantinya harus ada solusi agar anggaran terserap optimal,” tegas Khamim, Senin (26/6).
Dengan adanya persoalan itu, pihaknya meminta pihak eksekutif untuk mencari solusi. Agar serapan anggaran optimal, sehingga SiLPA dapat ditekan dalam batas wajar. Untuk mencapai hal tersebut maka OPD perlu menyusun perencanaan dan penganggaran secara matang.
Aspek lainnya yang disoroti kalangan legislatif yakni sisi pendapatan asli daerah (PAD) yang masih loyo. Komponen PAD hanya berkontribusi 25,53 persen terhadap sisi pendapatan daerah yang dominan disokong pendapatan transfer 74,47 persen. Gambaran tersebut mencerminkan rendahnya kemandirian fiskal daerah sehingga memiliki ketergantungan yang cukup tinggi dana perimbangan pemerintah pusat.
Postur APBD 2022 menyebutkan, pendapatan daerah terealisasi Rp1,004 miliar dari target Rp955,7 miliar. Ada peningkatan Rp34,1 miliar atau 5,06 persen. Sisi ini didapat dari sektor PAD sebesar 203,3 miliar dari target awal Rp201,7 miliar. Selanjutnya disokong pendapatan transfer sebesar Rp796,3 miiar dari target Rp752,3 miliar. Realisasinya mencapai 105,84 persen.
Loyonya PAD sangat kontras dengan predikat Kota Batu sebagai pilot project kepariwisataan kawasan Jawa Timur. Contoh konkrit terlihat pada sisi retribusi daerah yang terealisasi Rp6,9 miliar atau 62,27 persen dari target yang ditetapkan Rp11,1 miliar. Tidak tercapainya target itu perlu dievaluasi oleh pihak eksekutif.
Khamim membeberkan, berdasarkan audit, BPK memberikan catatan terhadap lemahnya sektor PAD Kota Batu. Meliputi kurang tertibnya pengelolaan pajak hotel, restoran, reklame, hiburan dan PBB. Berikutnya, pengelolaan retribusi PBB serta retribusi pelayanan persampahan.
“Dengan adanya permasalahan itu, Kami meminta kepala daerah untuk menginstruksikan kepada seluruh OPD. Agar segera menindaklanjuti dengan menyusun rencana aksi tindak lanjut yang cepat, tepat dan terukur. Dengan tetap berpedoman pada ketentuan peraturan perundangan yang berlaku,” tuturnya.
Sementara itu, Pj Wali Kota Batu, Aries Agung Paewai menyampaikan, SiLPA yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya, karena pihak eksekutif terbentur dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Contohnya, semisal ada kegiatan yang tidak cukup waktu. Daripada beresiko maka pihaknya memilih untuk di SiLPA-kan.
“Waktu mepet, kemudian beresiko bagi kami. Daripada ketentuan tidak jalan lalau menerobos aturan. Maka kamu akan jadi salah. Dengan kondisi seperti itu, terkadang kami lebih memilih untuk di SiLPA-kan. Kemudian anggarannya digunakan lagi pada tahun berikutnya,” katanya.
Menurutnya, SiLPA tidak akan menggangu. Walaupun nampak jika ada suatu program yang tidak bisa tercapai di tahun tersebut.
“Jika dilihat SiLPA pada tahun lalu cukup tinggi. Tapi daripada beresiko dalam penggunaannya. SiLPA lebih baik daripada kami jadi bermasalah,” tutupnya. (Ananto Wibowo)