
Malang Post – Jika masih ingin mengkonsumsi hasil pertanian asli Kota Batu. Pemkot bersama masyarakat Kota Batu wajib hukumnya untuk melindungi 634 hektare lahan sawah dilindungi (LSD). Jumlah LSD tersebut sesuai dengan Peraturan Daerah (Perda) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Batu tahun 2022-2042.
Regulasi ketentuan tentang LSD tersebut, mengacu pada keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nomor 1589/Sk-Hk 02.01/XII/2021.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian dan Pengembangan Daerah (Bapelitbangda) Kota Batu, Mokhammad Forkan menyatakan, dalam draft Perda tersebut, Pemkot Batu mengusulkan 684,4 hektare LSD. Kemudian setelah direvisi oleh pihak kementerian, LSD jadi 643 ahektare.
“Jumlah 643 hektare tersebut susuai dengan hasil verifikasi LSD yang telah dilakukan oleh Kementerian ATR/BPN,” tutur Forkan.
Dengan jumlah total LSD yang disetujui seluas 643 hektare dari usulan LSD 674,4 hektare. Maka LSD yang tidak dapat dipertahankan seluas 34,74 hektare. Hal itu dikarenakan, saat ini lahan tersebut sudah ada bangunan di atasnya.
Lebih lanjut, di Kota Batu lahan pertaniannya didominasi lahan pertanian holtikultura. Sedangkan untuk lahan pertanian padi, jumlahnya sangat terbatas. Di Kota Batu, lahan pertanian padi paling banyak berada di Kecamatan Junrejo. Sedangkan untuk pertanian holtikultura, banyak berada di kawasan Kecamatan Bumiaji.
Sementara itu, Ketua DPRD Kota Batu, Asmadi mengingatkan, agar Pemkot Batu betul-betul melaksanakan amanah regulasi LSD dengan maksimal. Sebab LSD sangat penting untuk mendukung daya tahan pangan di kota Batu.
“LSD merupakan upaya menjaga ketersediaan lahan sawah untuk mendukung ketahanan pangan dan menyelamatkan keberpihakan pemerintah pada sawah,” ujarnya.
Asmadi juga mewanti-wanti agar tidak ada LSD yang tiba-tiba beralih fungsi seperti pembangunan pariwisata atau perumahan. Dia juga meminta, agar pihak eksekutif tidak kecolongan atau tergoda dari pihak-pihak yang mencoba mengalih fungsikan lahan.
Perda RTRW telah disetujui setelah sempat terhenti selama tiga tahun sejak 2019. Banyak yang harus dilakukan penyesuaian, pembahasan lintas sektor dan revisi dalam menyusun RTRW tersebut. Dia menjelaskan penyesuaian dilakukan selama tiga kali hingga mendapatkan persetujuan oleh Menteri ATR/Kepala BPN.
“Penyesuaian tiga kali tersebut dikarenakan adanya bangunan baru seperti hotel-hotel atau banyaknya bangunan baru yang sudah terlanjur dibangun di Jalan Dieng atau Simpang Tiga Bendo. Sehingga hal tersebut harus dilakukan penyesuaian. Meskipun begitu untuk aturan berapa persen lahan hijau di tiap kecamatan harus tetap diikuti,” katanya.
Kemudian penyesuian kembali harus dilakukan karena adanya banjir bandang yang terjadi tahun 2021 lalu. Penyesuaian akibat banjir bandang perlu dilakukan agar tidak terjadi bencana serupa dan menjaga adanya alih fungsi lahan yang berdampak bencana. (Ananto Wibowo)