
Malang Post – Gaji puluhan pekerja tenaga kebersihan dan pengamanan dari PT Dian Abadi Makmur (DAM) serta ASE Security PT Rahmat Sejahtera. Yang betugas atau beraktifitas di Malang Creative Center, Blimbing Kota Malang. Diduga keras menyalahi Pasal 88E ayat 2 dan pasal 185 pada UU nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Lantaran gaji yang diterima, yang besarannya diduga hanya Rp2 juta, tidak sesuai dengan Upah Minimun Kota (UMK) sebesar Rp3.194.000. Ketua SPSI Malang, Suhirno menegaskan, perusahaan bisa terancam sanksi pidana atau denda. Manakala sebuah perusahaan, tidak menjalankan pemenuhan gaji sesuai Upah Minimum Kota (UMK).
“Sanksi ancaman pidananya, jika ada pekerja atau karyawan berani melaporkannya, minimal satu tahun penjara dan maksimal empat tahun penjara. Atau denda minimal Rp100 juta dan maksimal Rp 400 juta,” tegas Suhirno, ketika dihubungi Malang Post, Kamis (2/02/2023).
Kendati outsourcing adalah pekerjaan alih daya, atau dikenal dengan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Suhirno menjelaskan, upahnya tidak boleh dibuat seenaknya oleh perusahaan yang mempekerjakannya.
“UMK tetap harus menjadi pedoman bagi perusahaan. Yang menggunakan jasa tenaganya. Pekerja outsourcing ketika digaji tidak sesuai UMK, harus berani meminta uang kompensasi. Ketika tidak dilakukan perpanjangan, sebab ini sesuai aturan yang ada,” jelas dia.

Disinggung kenapa banyak pekerja outsourcing, tidak berani menuntut haknya, meski tidak digaji sesuai UMK. Suhirno menjawab, faktor utamanya karena risiko dipecat. “Para pekerja menganggapnya menjadi momok serius. Takut tidak memiliki pekerjaan lagi. Dan tidak bisa lagi menafkahi keluarganya. Inilah yang menjadi tantangan kita bersama untuk menuntaskannya,” tandasnya.
Disisi lain, masih katanya, Disnaker harus turun tangan. Baik dari provinsi maupun di daerah. Jangan sampai hak-hak para pekerja outsourcing, tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah. Pengawasan dan penyelesaian dari pemerintah, harus dijalankan sesuai aturan.
“Apalagi saat ini kewenangan pengawasan menjadi hak dari provinsi. Bukan lagi di daerah. Sehingga Pemkot dan Pemkab tidak bertaring ketika ada permasalahan pekerja dan perusahaan,” cetusnya.
Pihaknya berpikiran, dengan adanya UU Cipta Kerja Omnibus Law justru hak-hak para pekerja kian hancur. Terutamanya pekerja outsourcing semakin gak jelas dan gak karu-karuan jadinya.
“Kami mengajak para pekerja apapun yang merasa dirugikan haknya, hendaknya berani memberikan pelaporan resmi kepada pihak terkait. Agar perusahaan tidak semaunya sendiri dalam menggaji karyawan,” pungkasnya. (Iwan – Ra Indrata)