Malang Post – Polemik pengerjaan pengaspalan jalan, yang dikerjakan di awal tahun 2023, oleh rekanan di Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan dan Kawasan Permukiman (DPUPRPKP) Kota Malang, menarik perhatian publik.
Apalagi proyek yang seharusnya dikerjakan tahun 2022 itu, oleh DPUPRPKP dianggap tidak masalah, meski baru dikerjakan tahun 2023. Dengan merujuk pada regulasi yang ada di Perlem LKPP no 12 tahun 2021, tentang pengadaan barang dan jasa.
“Saya kira Kepala Dinas PUPRPKP Kota Malang, kurang memahami dengan cermat, apa yang termuat dalam peraturan tersebut. Atau bisa jadi penyampaian informasi dari bawahan beliau tidak tepat,” kata Awangga Wisnuwardhana, anggota Peradi Pergerakan Malang, Kamis (19/1/23).
Menurut Angga, yang dimaksud dalam peraturan tersebut adalah menyambung kegiatan pada anggaran murni, yang kegiatannya harus 12 bulan. Tapi karena dananya tidak tersedia, sehingga bisa disambung dengan anggaran perubahan. Dicontohkan, operasional listrik yang seharusnya 12 bulan, akan tetapi baru tersedia 8 bulan. Sehingga sisanya di tambahkan di PAK dengan menambah empat bulan, agar kegiatan bisa terlaksana dengan baik.
“Jadi jika anggaran sudah ada, DPUPRPKP tidak perlu memberikan penambahan maksimal 50 hari, untuk pengerjaan pengaspalan jalan. Tapi jika penambahan waktu pengerjaan itu karena ketersediaan material, yang membuat proyek baru bisa dikerjakan tahun 2023, itu adalah pernyataan yang tidak bisa dipertanggung jawabkan,” jelas pria yang juga sebagai pengusaha SPBU ini.
Sebab, lanjut Angga, jika ada keterlambatan material aspal, seharusnya ada pernyataan secara tertulis atau surat resmi dari Pertamina, yang menyatakan adanya kelangkaan aspal dan solar. Atau surat dari dinas terkait, yang menyatakan adanya kelangkaan material alam.
“Statemen itu (Kepala DPUPRPKP, Dandung Djulharjanto) seolah-olah dapat dikategorikan menyalahkan pihak AMP, yang tidak memiliki ketersediaan material. Malah bisa dipastikan, rekanan pelaksana proyek tidak dapat membayar uang DP, untuk pembelian aspal hotmix di AMP,” terangnya.
Seharusnya, tambah Angga, Kepala DPUPRPKP, sebelum memberikan statemen, perlu mencermati bahwa Perubahan Anggaran Keuangan (PAK). Bisa dilakukan jika terkendala ketersediaan anggaran dan untuk penyelesaian kegiatan.
Selain itu, dalam anggaran PAK tidak diperkenankan menambah kegiatan baru, yang pelaksanaannya di prediksi bisa melewati tahun anggaran atau tidak selesai pada akhir desember 2022.
Perlu dicermati pula, dalam perubahan perda APBD-P yang menjadi dasar pelaksanaan anggaran dan pengeluaran dana, dalam bentuk Penerbitan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) yang diterbitkan oleh BUD (Bendahara Umum Daerah)/Kas Daerah (Kasda) tidak boleh melewati tahun anggaran. Atau tidak boleh lebih dari tanggal 31 Desember tahun tersebut, yaitu 2022.
“Jadi, jika ada kegiatan yang pada akhir tahun anggaran, tidak selesai atau belum dilaksanakan, dapat dikatakan PPK tidak cermat dalam mengendalikan kontrak. Seharusnya dari awal jika diperkirakan tidak selesai pada akhir tahun anggaran, atau tidak tersedia waktu yang mencukupi, baik pelaksanaan berikut denda keterlambatannya, PPK wajib membuat kajian teknis atau telaah staf ke PA (kepala dinas), bahwa proyek tidak bisa dilaksanakan.
Hal itu dapat kita lihat dalam Perlem 12 tahun 2021, pasal 7.17.2. berakhirnya kontrak,” bebernya Selain itu, Angga menegaskan, dalam SPSE versi 5.2 ada tahapan Review Dokumen Persiapan, yang mana jika jangka waktu pelaksanaan pendek, maka PPK harus menjelaskan metode dan hasil survey dan jangka waktu pelaksanaannya dan harus di upload di aplikasi.
“Ini terlihat DPUPRPKP beserta Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) tidak menjalankan fungsinya dgn baik sebagai pengendali anggaran. Karena terbukti bahwa tidak ada evaluasi terhadap paket-paket pekerjaan yang akan diluncurkan,” tegasnya.
“Kalau memang pekerjaan (pengaspalan jalan) itu mendesak dan sangat di butuhkan masyarakat, kenapa dinas PUPR tidak menggunakan anggaran Belanja Tidak Terduga (BTT),” imbuhnya. (Ra Indrata)