Saat ini, banjir yang disebabkan oleh limpasan hujan lebat menjadi masalah klasik di daerah perkotaan. Hampir semua kota besar menghadapi masalah banjir sebagai dampak dari pembangunan dan perubahan iklim.
Perubahan iklim sebagai dampak dari pemanasan global ditengarai menjadi faktor penyebab terjadinya perubahan karakteristik hujan yang pada beberapa tahun terakhir ini memiliki kecenderungan intensitas yang tinggi dengan durasi hujan relatif lebih singkat.
Sudah banyak penelitian dan upaya yang dilakukan untuk mengatasi banjir perkotaan, namun hingga saat ini belum memberikan hasil yang optimal. Hal ini ditunjukkan oleh banjir yang terus berlangsung dan kerugian yang bahkan semakin besar.
Harus disadari bahwa pengendalian banjir perkotaan tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah atau pihak tertentu, tetapi merupakan tanggung jawab seluruh masyarakat.
Di sisi lain, dataran banjir masih merupakan kawasan yang menarik sebagai tempat tinggal. Hampir semua masyarakat yang bermukim di kawasan tersebut enggan berpindah tempat meski sadar akan potensi bahaya. Hal ini karena sebagian masyarakat sudah memiliki kemampuan untuk menghadapi risiko bahaya yang akan terjadi, dan bahkan memiliki motivasi, kapasitas, dan peran aktif untuk melakukan usaha yang berpengaruh signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan.
Di Kota Malang, ada satu daerah yang selalu dilanda banjir pada setiap musim hujan, yaitu Glintung RW 05, Kelurahan Purwantoro, Kecamatan Blimbing. Dengan luas 8,2 ha dan jumlah penduduk 810 jiwa, kawasan ini tergolong permukiman dengan kepadatan tinggi, yaitu sekitar 9900 jiwa/km2.
Banjir di daerah ini sudah terjadi sejak awal tahun 2000 dengan hampir 50% wilayah terdampak. Daerah ini dibatasi oleh saluran pembuang utama Kali Lahar selebar sekitar 12 meter di bagian selatan, jalan raya Malang-Surabaya di bagian barat, kampung tetangga yang padat penduduk, yang dikenal sebagai Kampung Glintung Go Green di bagian utara, dan rel kereta api di bagian timur.
Ketiga kawasan perbatasan tersebut memiliki elevasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan Kampung Glintung RW 05 sehingga sebagian kawasan ini seperti kolam air pada musim hujan.
Studi yang dilakukan oleh tim peneliti dari Universitas Merdeka Malang, yaitu Dr. Laksni Sedyowati, Dr. Sari Yuniarti, dan Sufiyanto, ST, MT, yang juga melibatkan 3 mahasiswa dari Prodi Teknik Sipil dan 2 mahasiswa dari Prodi Teknik Mesin sebagai perwujudan Program Kampus Merdeka di bidang riset, menunjukkan bahwa curah hujan dengan intensitas kurang lebih 60 mm/jam telah menyebabkan banjir di daerah tersebut dengan ketinggian genangan antara 50-120 cm, sehingga daerah ini dikenal juga sebagai Glintung Water Street (GWS).
Nama GWS diambil dari kondisi jalan atau gang kampung yang berubah menjadi saluran saat hujan deras, terutama di jalan yang terletak pada radius ± 100 m dari sungai.
Di daerah yang paling dekat dengan sungai, ketinggian air dapat mencapai 1,2 m. Kondisi semakin parah karena terjadi aliran balik ketika permukaan air di saluran pembuang utama meningkat dan air meluap ke kampung.
Studi tersebut juga mengungkapkan bahwa meskipun Kampung Glintung adalah daerah rawan banjir, ada banyak program kegiatan yang dilakukan oleh masyarakatnya.
Ada 3 kelompok masyarakat yang menangani bidang lingkungan, pertanian dan peternakan ikan yang struktur organisasinya didasarkan pada keputusan pemerintah daerah.
Kelompok-kelompok masyarakat ini dapat berjalan dan berkembang dengan baik, dan telah memberikan hasil yang signifikan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat sendiri dalam hal ketahanan pangan dan fasilitas kesehatan untuk balita dan orang tua.
Komitmen dan keterlibatan total masyarakat dalam semua program adalah hasil dari penerapan nilai-nilai kearifan lokal yang kuat dan konsisten dilaksanakan, yaitu gotong royong dan guyub rukun.
Nilai-nilai tersebut juga digunakan sebagai dasar implementasi sistem ketahanan banjir masyarakat. Studi ini juga menyimpulkan bahwa ada penurunan kedalaman banjir dari sekitar 1,2 m menjadi 0,8 m dan kerugian banjir dari sekitar 100 juta rupiah menjadi sekitar 50 juta rupiah (penurunan kerugian 50%).
Pengurangan kerugian juga dihitung dengan memperhitungkan keuntungan dari urban farming yang terdiri dari budidaya ikan, unggas dan sayuran, dengan memanfaatkan air yang mengalir pada saluran pengendali banjir yang difasilitasi oleh DPUPRPKP Pemkot Malang.
Pada akhirnya, kampung ini telah berhasil mengubah musibah banjir menjadi anugerah. Saat ini, kampung telah berkembang menjadi Kampung Ketahanan Pangan atas kerjasama dengan Dinas Pertanian, Kampung Tangguh Semeru atas kerjasama dengan Polda Jatim, Kampung Destinasi Wisata melalui pengembangan edupark atas kerjasama dengan Dinas Pariwisata, mendapatkan penghargaan status madya Program Kampung Iklim (ProKlim) pada Tahun 2018 dan 2021 dari Pemerintah Kota Malang.
Terbaru, kampung ini juga diproyeksikan menjadi Kampung Mandiri Energi yang diawali dengan pembuatan pembangkit listrik mikrohidro berupa kincir air berbasis potensi dan sumberdaya lokal dengan memanfaatkan aliran air dari saluran pengendali banjir.
Program ini dilaksanakan atas kerjasama masyarakat GWS dengan Universitas Merdeka Malang yang didukung oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) melalui Program Penelitian Tahun 2022.
Program kemandirian energi ini sangat diperlukan untuk mendukung GWS menjadi kampung destinasi wisata sesuai target dari Dinas Pariwisata Kota Malang melalui pengembangan edupark dan sentra kuliner olahan ikan, unggas dan sayuran. Selain itu, dengan adanya teknologi energi terbarukan, GWS dapat meraih penghargaan ProKlim dengan status Mandiri.
Konsep pengembangan energi terbarukan di GWS
Pengembangan energi terbarukan di GWS dimaksudkan untuk mengurangi penggunaan energi listrik dari PLN guna mendukung operasional urban farming dan penerangan di sekitarnya. Urban farming di GWS terdiri dari budidaya sayuran, perikanan dan peternakan unggas. GWS merupakan dataran banjir yang memiliki potensi sumberdaya air melimpah khususnya pada saat musim hujan.
Pada tahap awal, telah dikembangkan pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH) dengan memanfaatkan aliran air pada saluran pengendali banjir yang ada di GWS sepanjang lebih kurang 100 meter dengan beda tinggi 2 meter. PLTMH tersebut berupa kincir air yang didesain dengan 8 sudu berbentuk prismatis dan diameter 1,6 meter. Kincir air direncanakan menghasilkan daya antara 20-50 watt.
Desain kincir air ini merupakan implementasi pemanfaatan potensi lokal, baik sumberdaya air maupun sumberdaya manusianya, karena desain sepenuhnya merupakan ide dari warga GWS. Pembuatan kincir juga dilakukan bersama-sama oleh warga secara gotong royong. Tim Peneliti Universitas Merdeka hanya memberikan pendampingan teknis. (***)
Oleh:
Dr. Ir. Laksni Sedyowati, M.S.
Dosen Program Studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik
Wakil Direktur I Program Pascasarjana
Universitas Merdeka Malang