“Tidak ada perdamaian abadi, tanpa keadilan sosial dan tidak ada keadilan sosial tanpa jaminan sosial.”
Ungkapan yang lazim didengar dalam dunia Jaminan Sosial. Suatu bentuk perlindungan yang diselenggarakan oleh negara, guna menjamin warga negaranya agar dapat memenuhi kebutuhan hidup dasar yang layak. Sebagaimana dalam deklarasi PBB, tentang HAM tahun 1948 dan konvensi ILO No.102 tahun 1952.
Fungsi utamanya adalah sebuah bidang dari kesejahteraan sosial, yang memperhatikan perlindungan sosial. Atau perlindungan terhadap kondisi yang diketahui sosial. Termasuk kemiskinan, usia lanjut, kecacatan, pengangguran, keluarga serta anak-anak dan sebagainya.
Indonesia telah mengalami perjalanan panjang, dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi, dalam arti yang sesungguhnya. Dimulai sejak PELITA I pada tahun 1969. Namun hingga saat ini, pertumbuhan ekonomi saja tidak serta merta menjamin secara otomatis, peningkatan kesejahteraan maupun pemerataan pendapatan nasional, bagi tenaga kerja.
Terlebih di Era Industri 4.0 saat ini, tak dapat dielakkan lagi. Secara perlahan semua mengalami apa yang disebut Disruption. Dimana sebagian besar pekerjaan yang dulu dikerjakan oleh manusia, kini dapat diambil alih oleh teknologi.
Ditambah lagi dengan dampak pandemi Covid-19, semakin membuat krisis yang mengakibatkan gelombang PHK, melemahnya daya beli, serta apa yang disebut dengan idle economy.
Menyediakan kesempatan dan lapangan kerja, dengan penghasilan yang layak untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup dan mengurangi kemiskinan, menjadi upaya yang tiap tahun menjadi agenda pemerintah.
Namun segala bentuk pencapaian dari program tersebut, masih belum mampu menjawab penyerapan angkatan kerja secara optimal. Sehingga akumulasi krisis menuntut dorongan perubahan pada masyarakat. Khususnya bagi pelaku usaha untuk mencari cara men-disrupsi pola pikir demi mendapatkan penghasilan.
Fenomena ini menjadi pemicu dari gelombang kewirausahaan di mana-mana, entrepreneur baru semakin bermunculan, dengan beragam industri ekonomi kreatif yang semakin bersaing. Dengan menciptakan pasar domestik yang produktif dan memanfaatkan sistem digitalisasi.
Ditengah gelombang kewirausahaan tersebut, penghasilan ekonomi tetap saja dapat terputus. Baik sebagian, maupun seluruhnya karena risiko sosial. Peristiwa yang dapat menimbulkan potensi terjadinya kerentanan sosial yang ditanggung oleh individu, keluarga, kelompok, dan/atau masyarakat. Sebagai dampak krisis sosial, krisis ekonomi, krisis politik, fenomena alam, bencana alam, ataupun kondisi lainnya seperti halnya sakit, kecelakaan kerja, meninggal dunia dan sebagainya.
Namun potensi akan risiko sosial tersebut, acap kali terabaikan. Bahkan belum dipahami secara substantif. Khususnya bagi para pelaku UMKM. Terlebih era teknologi digital Industri 4.0, membuat para pelaku usaha sudah semakin dinamis, cepat dan bergerak secara gerilya. Sehingga tak terdeteksi radar distribusi secara fisik dan tanpa perantara.
Bermain di dunia digital, produk dan industri pun beralih ke platform, sehingga para pelaku ekonomi semakin sulit untuk dideteksi dengan cara keonvensional.
Menelisik dinamika tersebut, dalam sudut pandang jaminan sosial, tentunya diperlukan pemahaman yang mendalam tentang peran jaminan sosial itu sendiri. Sebagai salah satu elemen pendukung peningkatan kesejahteraan, khususnya bagi pelaku ekonomi UMKM dan menjadi penyangga dari ekonomi itu sendiri.
Secara teknis, Jaminan Sosial Ketenagakerjaan di Indonesia, sudah meliputi perlindungan Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, Jaminan Hari Tua, Jaminan Pensiun dan yang terbaru adalah Jaminan Kehilangan Pekerjaan.
Segala bentuk risiko, tentunya menjadi hal yang tak diinginkan oleh para pelaku ekonomi. Namun dilain sisi, tak ada juga yang mampu menjamin bisa terbebas dari risiko tersebut. Sehingga para pelaku ekonomi UMKM, semestinya perlahan mulai memahami posisi sistem jaminan sosial dalam lingkup ekosistem mereka.
Hal ini menjadi sebuah anomali, karena ditengah gencarnya kampanye dan sosialisasi terkait inklusi keuangan, khususnya bagi para pelaku UMKM. Dengan berbagai penjualan produk/jasa keuangan yang sudah terdigitalisasi. Dengan berbagai kemudahan akses, yang diberikan oleh penyedia jasa keuangan.
Namun tidak disertai dengan progres edukasi yang komprehenship, terkait dengan perlindungan Jaminan Soaial Ketenagakerjaan. Sesuai dengan amanah Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004, tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Dibutuhkan regulasi yang konkrit, sampai ke tingkat kota/kabupaten, untuk menyediakan jaring agar tingkat literasi masayarakat yang masih sangat minim, terkait dengan perlindungan jaminan sosial ketenagakerjaan, bisa lebih ditingkatkan.
Menciptakan suatu aplikasi ataupun sistem yang melibatkan masyarakat secara luas, dengan kemudahan akses. Yang tidak hanya sekadar terjebak pada prinsip pragmatis. Namun juga berkelanjutan, karena merasa bahwa Jaminan Sosial dapat dijadikan sebagai proteksi dan memenuhi sisi kebutuhan pelindungan akan risiko sosial dalam keberlangsungan kegiatan ekonomi.
BPJamsostek pun seharusnya menjadi pemimpin perubahan. Dimana nantinya seluruh elemen penunjang Sistem Jaminan Sosial Nasional, akan turut terdampak positif. Seperti bertumbuhnya investasi dana jaminan sosial, yang juga akan berimbas kepada penambahan manfaat jaminan bagi para pesertanya.
Peningkatan kualitas pelayanan di rumah sakit, apabila terjadi risiko kecelakaan kerja, maupun penyakit akibat kerja. Serta produktivitas perekonomian para pelaku usaha di masa depan, dapat tetap terjamin dari terputusnya penghasilan ekonomi, karena risiko sosial yang sewaktu-waktu dapat mengancam para pekerja.
Inpres No 2 Tahun 2021 perihal Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, mestinya menjadi spirit dalam memberi akses kepada para pelaku usaha. Khususnya sektor informal dan pemerintah setempat, untuk memahami risiko sosial ketenagakerjaan, yang masih saja senantiasa mengintai.
Sehingga kedepan tak lagi ada para pelaku usaha, pekerja maupun pemberi kerja, bahkan pemerintah daerah, yang terkesan enggan untuk menjadi bagian dari ekosistem jaminan sosial ketenagakerjaan. Dengan alasan karena hal tersebut bukan merupakan kebutuhan dasar. (*)
Penulis : Andi Dhedy Febriady SE., MM.
Praktisi Jaminan Sosial Ketenagakerjaan