Malang-Post – Rencana sekolah tatap muka masih menuai pro kontra. Khususnya bagi Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Pengamat pendidikan menyarankan, pembelajaran berlangsung offline alias tatap muka. Sementara Ikatan Dokter Spesialis Anak Indonesia (IDAI) Malang Raya merekomendasikan sekolah daring alias online.
Dosen Pendidikan Guru PAUD Universitas PGRI Kanjuruhan Malang (sebelumnya disebut Unikama) Sarah Emanuel Haryono MPsi mengatakan. Pembelajaran daring pada siswa PAUD berpotensi merusak mental. Sebab, sikap anak di jenjang PAUD lebih mudah menyesuaikan dengan teknologi.
Dalam masa pertumbuhan, seorang anak harus didekatkan secara fisik dengan guru. Sehingga tidak cocok jika pembelajaran dilaksanakan secara daring.
”Gangguannya pada anak yang paling sering saya terima adalah rasa kecemasan. Hal itu terjadi ketika anak tahap menyesuaikan diri dengan keadaan saat pandemi,” kata Sarah, Jumat (18/6/2021).
Menurut Sarah, salah satu penyebabnya adalah munculnya rasa bosan saat anak duduk diam di depan gadget. Padahal, anak usia tersebut harus aktif bergerak. Anak akan berlatih mengontrol pergerakannya sendiri.
Ditambah lagi, anak-anak yang terbiasa bersosialisasi dan berkomunikasi dengan kawan sebayanya, terpaksa harus berkomunikasi lewat video call. Hal inilah yang kemudian berujung pada kecemasan.
Jika orang tua menemui kondisi itu, dia menyarankan orang tua menyediakan fasilitas atau kegiatan yang bermanfaat bagi anak. Salah satu contohnya adalah memberikan permainan, yang juga bisa menjauhkan anak dari ketergantungan gadget. ”Sehingga di sini peran dan kreativitas orang tua juga diperlukan,” sambungnya.
Ketua IDAI Jatim Perwakilan V Malang Raya Dr dr Harjoedi Adji Tjahjono SpA (K) menegaskan. Banyak resiko jika pemerintah memaksakan pembelajaran tatap muka terbatas (PTMT). Sebab, jumlah kasus Covid-19 di Kota Malang kembali merangkak naik.
”Rekomendasi IDAI pusat dan daerah kepada sekolah, lebih baik daring dulu agar kesehatan anak-anak dapat terjamin,” ujarnya.
Harjoedi menambahkan, jika terpaksa dilakukan sekolah tatap muka, dia merekomendasikan dilakukan secara hybrid (luring dan daring). Itu demi keamanan siswa. Apalagi, mutasi virus corona saat ini lebih kuat dibanding sebelumnya. Sementara, ada potensi kerumunan jika sekolah tatap muka diberlakukan.
Dia mendorong Pemkot Malang membatasi serius terkait sekolah tatap muka. Pembatasan dilakukan dengan mengurangi jumlah siswa di setiap rombongan belajar (rombel). Jika sebelumnya satu bisa diisi 36 siswa, kini maksimal menampung 50 persen dari kapasitas ruangan.
Selain itu, perlu dilaksanakan tes usap (swab test) secara rutin. Semua guru dan pelajar harus menjalani swab test. Harjoedi mencontohkan kasus yang ada di Australia.
”Di sana (Australia) semua anak sekolah dites usap setiap bulan. Ini dilakukan untuk menghindari penularan. Jika dalam tes usap selanjutnya ditemui ada siswa atau guru yang positif Covid-19, maka semua pembelajaran dilakukan dari rumah kembali,” pungkasnya. (yan)