AMEG – PARA ekonom Indonesia menunggu datangnya tanggal 5 Mei 2021. Empat hari lagi. Di tanggal itulah diumumkan angka pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan pertama 2021.
Sudah tumbuhkah ekonomi Indonesia? Atau masih tetap negatif seperti triwulan 2,3, dan 4 tahun lalu?
Lima ekonom yang hadir di Zoominar Narasi Institute kemarin sore punya penilaian yang sama: masih akan negatif. Achmad Nur Hidayat, pimpinan Narasi yang menjadi moderator, membuat semua pembicara adu data yang detail.
Mengapa mereka masih begitu pesimistis? “Indikasinya jelas. Pertumbuhan kredit bank masih negatif,” ujar Dr Umar Juoro, staf ahli Menko Perekonomian.
“Indikasi lain, konsumsi listrik belum naik sampai akhir Maret 2021,” tambahnya.
Dr Piter Abdullah yang selalu berpandangan optimistis, juga melihat masih akan negatif. Hanya saja negatifnya tidak sampai 1 persen.
Beda dengan Prof Anthony Budiawan yang memang sejak lama sudah menghitung akan negatif. Demikian juga ekonom DPR dari Golkar Muhamad Misbakhun.
Tapi Juoro juga melihat mungkin ekonomi mulai tumbuh di triwulan kedua. Yang dimulai bulan April 2021 ini. Konsumsi listrik, misalnya, mulai naik sedikit.
“Pertanyaannya bukan lagi apakah kita akan tumbuh, tapi seberapa cepat kita akan tumbuh,” ujar Juoro.
Tidak ada di antara ekonom itu yang melihat kita akan tumbuh cepat.
Tidak ada yang sampai melebihi optimisme pemerintah. Yang menargetkan tumbuh antara 5 sampai 7 persen.
“Maksimum lima persen,” ujar Piter. Itu pun tidak bisa dilihat sebagai lonjakan.
Tumbuh lima persen itu dibanding dengan kondisi tahun lalu yang minus. Bukan dibandingkan dengan ekonomi yang sudah baik.
Tapi bagi Anthony, tumbuh lima persen itu ilusi atau mimpi.
“Sekarang ini sudah krisis fiskal,” ujar Anthony. Buktinya Bank Indonesia sudah membeli surat utang sampai Rp 600 triliun. Persyaratan untuk bisa tumbuh 5 persen tidak ada sama sekali.
“Tahun ini ekonomi kita hanya akan tumbuh 0,5 persen saja. Maksimum 2 persen,” ujar Anthony.
Atau, dalam istilah Misbakhun, tidak terlihat lagi instrumen yang baru yang bisa membuat lonjakan. “Daya tahan pemerintah sudah kelihatan menurun,” kata Misbakhun.
Tentu harapan pelaku bisnis tidak seperti itu. Logikanya setelah negatif panjang akan terjadi lonjakan pertumbuhan.
Ternyata di antara ekonom itu tidak ada yang melihat akan terjadi loncatan pertumbuhan. Tiongkok memang tumbuh 18 persen triwulan pertama tahun ini.
Amerika tumbuh 6 persen. Itu karena mereka bisa mengandalkan ekonomi teknologi. Itu yang tidak terlihat di sini.
Sebenarnya saya sedikit berharap dari G-Nose dan Vaksin Nusantara. G-Nose bisa ekspor besar-besaran. Ternyata itu tidak terjadi.
Perkembangan pemakaiannya di dalam negeri pun tidak gegap gempita. Di mana-mana masih dipakai cara antigen –termasuk yang dicuci ulang seperti yang digerebek polisi di Medan.
Demikian juga VakNus. Yang semula ditargetkan akhir Mei ini sudah dipakai secara umum. Lalu bisa diinternasionalisasikan.
Harapan pertumbuhan ekonomi hanya pada satu saja: tumbuhnya kredit perbankan. Tapi apakah tumbuhnya kredit bank bisa diharapkan?
Ternyata kredit perbankan juga tidak mungkin diandalkan. Bank masih ragu akan hilangnya pandemi tahun ini. Apalagi terjadi kasus lonjakan baru Covid-19 di India.
Dalam istilah Misbakhun, bank kini lebih memilih mencari uang dengan cara membeli surat utang di BI. Bukan menyalurkan kredit ke masyarakat.
Misbakhun menghendaki ada koordinasi yang kuat antara Kemenkeu, BI, OJK, dan LPS. “DPR kan sudah sangat fleksibel. Bisa menyetujui apa saja yang diinginkan pemerintah,” ujar Misbakhun.
Jelaslah kalau hanya bersandar pada mekanisme yang ada bank tidak akan tergerak lebih baik. Harus ada koordinasi ketat untuk membuat keputusan.
Yang Misbakhun agak masygul adalah: belum terlihatnya dampak baik dari UU Cipta Kerja. Yang awalnya dimaksudkan untuk mengatasi krisis ekonomi. Yang untuk mengegolkannya dilakukan dengan upaya all out. Sampai menerabas banyak pagar.
Tentu, yang juga ditunggu adalah ini: seberapa jauh langkah maju di SWF. Gunturnya sudah begitu menggelegar. Tapi hujannya tidak kunjung turun.(*)