Wira.
Ananta.
Rudira.
Semua awak kapal selam harus punya jiwa itu: tabah sampai akhir. Termasuk 53 prajurit TNI-AL yang meninggal bersama di dalam kapal selam Nanggala 402 itu.
Pun para penyelam. Mereka adalah bukan manusia biasa –seperti saya ini. Para pahlawan Nanggala itu adalah manusia khusus dengan jiwa yang sangat khusus.
Ada empat persyaratan untuk bisa disebut punya jiwa ”tabah sampai akhir”: ia harus cerdas, ia harus ulet, ia harus berani, dan satu ini yang jarang dimiliki siapa pun: ia harus tabah.
Dalam pengertian yang sebenarnya.
Maka jangan bayangkan kondisi mereka di detik-detik akhir hidup mereka seperti kita-kita ini. Terutama ketika tahu kapal selam mereka tiba-tiba ”mogok” dan terdampar di kedalaman 800 meter.
Apakah mereka panik? Terutama ketika tahu bahwa mereka tidak bisa lagi mengirim sonar ke permukaan laut?
Apakah mereka panik ketika tahu sinyal darurat mereka tidak lagi berfungsi –lantaran hanya bisa dikirim dari kedalaman maksimum 100 meter?
Apakah mereka panik ketika tahu –berdasar perhitungan mereka yang cerdas itu– tidak akan ada pertolongan –karena yang akan menolong tidak tahu di mana posisi kapal selam itu.
Apakah mereka panik ketika tahu oksigen di kapal selam itu hanya cukup untuk dihirup 53 orang selama tiga hari? Lalu tinggal dua hari? Tinggal 1 hari? Tinggal 12 jam? Tinggal 1 jam? Tinggal 30 menit?
Apakah mereka saling menyalahkan? Terutama kalau misalnya ada yang berbuat keliru dalam mengoperasikan kapal itu?
Apakah mereka emosi dan marah-marah? Terutama ketika mereka tahu sekian menit lagi mereka akan meninggal dunia?
Orang memang tidak tahu kapan akan meninggal. Tapi 53 orang itu tahu. Kapan, jam berapa, berapa menit lagi.
Tapi mereka bukan orang biasa seperti kita. Mereka punya watak dan kejiwaan yang luar biasa. Ditambah dengan doktrin kejuangan keprajuritan TNI-AL.
Wira Ananta Rudira.
Tabah Sampai akhir.
Dalam doktrin itu ketenangan adalah kuncinya. Emosi dan marah hanya akan membuat oksigen cepat habis.
Saya ingat peristiwa para pemain bola junior Thailand yang terjebak dalam gua. Peristiwa itu mengajarkan banyak hal. Sampai-sampai saat ke Bangkok dulu saya perlukan berkunjung ke gua itu –di perbatasan dengan Myanmar.
Saat itu, pelatih mereka mengumpulkan para pemain di satu tempat yang tidak tergenang air di dalam gua itu. Sang pelatih mengarahkan para remaja itu untuk tetap tenang. Padahal sama sekali tidak ada makanan. Mereka hanya minum dari air yang menetes di dalam gua. Mereka dibuat yakin akan ada penolong yang datang. Yang ternyata baru bisa masuk gua di hari ketiga.
Di kapal selam itu sebaliknya. Banyak makanan dan minuman. Cukup. Tapi kemungkinan kedatangan tim penolong sangat kecil.
Mereka tahu Indonesia tidak punya kapal penolong kapal selam. Singapura punya satu buah. Malaysia punya satu buah. Demikian juga negara-negara yang punya kapal selam.
Maka komandan kapal selam itu, Heri Oktavian, letnan kolonel pelaut, menjadi penentu apa yang masih bisa dilakukan. Semua akan tunduk pada komandan.
Bayangan saya, mereka terus mengusahakan apa pun yang masih bisa diperbaiki. Sampai pun hari ketiga daya oksigen itu habis. Dengan tenang. Tanpa kepanikan. Siapa tahu detik terakhir kapal itu bisa bergerak lagi.
Bayangan saya yang lain, semua prajurit berdinas di tempat masing-masing. Terutama merawat persenjataan. Seolah mereka sedang berada di medan tempur. Mereka tahu akan meninggal. Tapi mereka juga tahu harus meninggal di medan pertempuran – -bukan di tempat tidur.
Itulah jiwa prajurit.
Maka saya setuju mereka itu meninggal dalam status sedang bertempur. Kelak, kalau kapal itu ditemukan, akan diketahui di mana saja posisi 53 prajurit itu. Apakah semua di tempat tidur atau di tempat tugas masing-masing. Atau di tempat yang lain.
Mungkinkah kapal itu ditemukan?
Tentu sangat mungkin. Singapura, Malaysia dan Tiongkok sudah mengirim kapal khusus untuk mencarinya.
Kapal jenis itu tidak bisa diharapkan tiba sebelum oksigen habis. Perjalanan dari Singapura ke kawasan Bali Utara memerlukan waktu tiga hari. Itu bukan kapal cepat. Apalagi dari Hainan di Tiongkok.
Kapal penolong itu membawa ‘kapsul’ berisi 6 orang –ada ‘kapsul’ sejenis yang berisi 8 orang. Kapsul itu diturunkan dari kapal untuk ditenggelamkan menuju lokasi kapal tenggelam.
Kapsul itu bisa dikendalikan untuk menuju lokasi yang diperkirakan. Kapsul itu bertugas mendeteksi keberadaan kapal selam kita. Kalau saja kapsul itu bisa menemukan, maka ia akan menuju pintu darurat kapal selam kita.
Ukuran pintu di kapsul itu dibuat sama dengan pintu darurat kapal selam.
Sudah ada kesepakatan internasional mengenai ukuran pintu darurat kapal selam. Dengan demikian penolong dari negara mana pun bisa cocok untuk kapal selam milik siapa pun.
Masalahnya: Nanggala-402 berada di kedalaman 800 meter. Mungkin cara pertolongan seperti itu sudah tidak bisa dilakukan.
Untuk kedalaman seperti itu kapsul tersebut harus diturunkan ke dasar laut tanpa awak. Ia dikendalikan dari permukaan laut. Dari kapal penolong.
Saya tidak tahu jenis yang mana kapsul milik Singapura dan Malaysia itu. Saya juga tidak tahu apakah kapsul milik Singapura bisa diterjunkan sampai kedalaman 800 meter.
Yang saya ketahui, Prancis lah yang punya kapsul sejenis yang paling hebat di dunia: bisa diterjunkan sampai kedalaman 2.000 meter. Mohon ada pembaca Disway yang membetulkannya kalau itu salah.
Itu di masa yang lewat.
Kini Tiongkok lah ”juara dunianya”. Tiongkok punya kapsul sejenis yang bisa diterjunkan sampai kedalaman 3.000 meter.
Kapsul itu bisa dikendalikan dari permukaan laut untuk menuju pintu darurat kapal selam. Proses menempelkan pintu kapsul itu ke pintu darurat kapal selam bukanlah urusan mudah. Arus laut sangat menyulitkan. Membuat kapal bisa bersandar di pelabuhan saja sulit. Apalagi menempelkan pintu ke pintu di dasar laut.
Tapi kapsul tersebut dilengkapi jenis metal tertentu. Yang ketika sudah menempel di kapal selam tidak terlepas oleh kekuatan arus.
Arus di dalam laut itu seperti hati wanita –sulit ditebak. Ada kemungkinan kapal selam Nanggala juga kewalahan ketika didorong arus deras yang datang dari selat Bali. Saya tahu: kabel listrik bawah laut di selat Bali terlalu sering putus akibat arus yang dahsyat di situ.
Mungkin posisi Nanggala akan ditemukan –suatu saat nanti. Tapi apakah kapalnya akan bisa diangkat? Sulit sekali. Mahal sekali. Rasanya tidak perlu. Tidak akan ada gunanya. Siapa yang akan bisa mengangkat kapal seberat itu dari kedalaman 800 meter.
Maksimum, yang bisa dilakukan, adalah membuka pintu darurat itu. Lalu memasukkan kamera untuk merekam seluruh keadaan di dalam kapal selam.
Sampai hari ini sebenarnya belum diketahui kepastian ini: di mana kapal selam itu. Bahwa diduga di utara Bali adalah dugaan – -berdasar perhitungan. Bahwa di kedalaman 800 meter juga baru dugaan – -dari serpihan yang terdeteksi, itu pun kalau benar itu serpihan kapal selam. Bahwa 53 orang tersebut sudah meninggal dunia juga baru dugaan – -berdasar ketersediaan oksigen.
Kepastiannya masih menunggu kapsul dari negara mana yang menemukannya.
Yang tahu pasti sebenarnya komandan kapal itu sendiri. Sang komandan selalu melihat indikator di kapal itu: di derajat mana posisi kapal, di kedalaman berapa, dan lagi di kecepatan berapa atau lagi berhenti.
Tapi sang komandan tidak bisa mengirimkan data itu ke pusat kendali.
Kedalaman 800 meter membuat sonar tidak bisa dikirim.
Kedalaman 800 meter itu juga yang membuat mereka tidak akan membuka pintu darurat. Agar bisa keluar dari kapal. Lalu memanggul tabung oksigen untuk mencapai permukaan.
Mereka tahu ini: begitu keluar dari kapal badan mereka akan hancur. Bentuk badan sih tetap utuh, tapi jaringan tubuh manusia langsung remuk. Tekanan atmosfer tidak kuat ditahan tubuh manusia. Seperti dipresto.
Di kedalaman 800 meter tekanan atmosfernya 85.
Tidak ada tubuh yang kuat di tekanan atmosfer setinggi itu.
Kita ini, di permukaan bumi ini, biasa hidup dengan tekanan 1 atmosfer.
Kalau kita masuk ke dalam ruangan yang tekanan atmosfernya 6 saja, semua jaringan tubuh kita mengecil. Termasuk paru-paru. Juga urat darah.
Maka para penyelam itu punya disiplin atmosfer yang tinggi. Menyelam itu hanya boleh maksimum 30 meter. Itu pun sudah hebat. Itu pun harus dicapai secara bertahap. Tidak boleh langsung menuju kedalaman 30 meter. Ketika masuk ke 3 meter harus berhenti dulu.
Biar jaringan dan organ menyesuaikan diri. Lalu berhenti lagi di kedalaman 6 meter. Berhenti lagi di kedalaman 10 meter. Dan seterusnya.
Demikian juga ketika selesai menyelam. Untuk menuju permukaan harus beberapa kali berhenti. Setiap berhenti harus selama sekitar 5 menit. Kalau tidak, saluran darah bisa pecah.
Saya bukan penyelam. Saya bukan orang yang bisa disiplin dan tabah seperti itu.
Maka terjawablah mengapa 53 prajurit di kapal selam Nanggala tidak membuka pintu darurat. Itu sama dengan bunuh diri.
Kapal selam adalah kapal yang ukurannya serba dibatasi. Untuk kepentingan kecepatan dan kemampuan jelajah. Bagi yang sudah masuk kapal selam di museum kapal selam di dekat mal Surabaya Plaza bisa membayangkan itu.
Tidak banyak ruang di situ. Tempat tidur harus ditumpuk agar bisa dua susun. Itu pun harus dilipat kalau lagi bukan jam tidur. Demikian juga meja makan. Hanya bisa digunakan kalau lagi jam makan. Setelah itu harus dilipat –agar terbentuk ruangan.
Maka salat di kapal selam pun harus dilakukan sambil telentang. Di lantai. Atau di tempat tidur. Karena itu kalau kapal lagi berhenti di pangkalan, banyak awak yang memilih salat di atas kapal –seperti foto yang banyak beredar.
Kapal selam tenggelam, adalah berita dunia. Maka nama Indonesia kini jadi pembicaraan global.
Ini memang tragedi yang sangat menyentuh hati dunia. Juga hati kita semua. (*)