HINGGA kini kapal selam KRI Nanggala-402 yang hilang kontak sejak 21 April dini hari belum ditemukan. Keluarga para awak pun cemas. Pencarian masih terus dilakukan.
Masih ada peluang untuk menyelamatkan 53 awak kapal. Dengan catatan, Sabtu (24/4) dini hari, kapal sudah harus ditemukan. Semoga saja segera ditemukan dan seluruh awak selamat.
Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana Yudo Margono mengatakan, cadangan oksigen di kapal selam KRI Nanggala-402 bisa bertahan selama 72 jam dalam kondisi black out. “Kurang lebih 3 hari. Jadi saat kemarin (21/4) hilang kontak jam 03.00, bisa sampai hari Sabtu jam 03.00. Mudah-mudahan segera ditemukan sehingga cadangan oksigen masih ada,” ujar Yudo saat konferensi pers, kemarin (22/4).
Kapal buatan Jerman tahun 1977 itu diperkirakan hilang di perairan sekitar 60 mil atau sekitar 95 kilometer dari utara Pulau Bali. Kapal hilang kontak saat komandan pelatihan hendak memberikan otoritas penembakan torpedo.
“Hingga saat ini belum ada informasi pasti terkait kapal selam KRI Nanggala-402 yang dikabarkan hilang kontak di Perairan Bali bagian utara, saat ini masih dalam proses pencarian,” kata Kapuspen TNI Mayor Jenderal TNI Achmad Riad dalam konperensi pers di Base Ops Lanud Ngurah Rai, Badung, Bali, kemarin.
Seluruh kapal milik TNI Angkatan Laut yang memiliki kemampuan pencarian bawah air sedang melakukan pencarian kapal selam itu. “Juga ada penawaran bantuan dari negara sahabat yang pertama dari Singapura dengan Kapal Swift Rescue dan kapal-kapal penyelamat bagi kapal selam yang mengalami kendala di bawah air,” kata Kapuspen TNI Mayor Jenderal TNI Achmad Riad.
Ia mengatakan kapal bantuan dari Singapura yaitu Kapal Swift Rescue akan tiba pada 24 April 2021, sedangkan kapal bantuan dari Malaysia Rescue Mega Bakti akan tiba pada 26 April 2021. Selain negara tersebut, terdapat beberapa negara lainnya yang juga menawarkan bantuan, di antaranya Amerika Serikat, Jerman, Prancis, Turki, India, Rusia dan Australia.
Saat ini, sudah ada 5 KRI dan satu helikopter yang melakukan operasi pencarian dengan kekuatan yang lebih dari 400 orang. KRI Rigel (933) yang pernah digunakan untuk mencari Sriwijaya Air juga dikerahkan.
Ada titik terang dengan kemunculan tumpahan minyak di permukaan. Diprediksi titik itu letak KRI Nanggala-402 tenggelam. Namun, ada indikasi lain yang bisa diterjemahkan. Tumpahan minyak itu dikarenakan pressure hull mengalami kerusakan. “Karena tekanan air yang masuk kemudian kolaps strukturnya,” ujar Pakar Kelautan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya Wisnu Wardhana, seperti dirilis DI’s Way.
Ia menjelaskan, beberapa faktor menyebabkan kapal selam itu kandas di dasar lautan. Yakni, human error, usia kapal selam, teknologi yang out of date, dan perawatan yang tidak disiplin. Selain itu, faktor geografis perairan di Indonesia.
Kapal selam itu dinyatakan hilang setelah uji coba melontarkan torpedo. Proses itu wajib mengutamakan tanggung jawab yang besar dan ketepatan. Tidak boleh ceroboh. “Saat itu ada tahapan air dengan tekanan besar memasuki tabung pelontar torpedo,” ujarnya kemarin.
KRI Nanggala-402 sempat tidak menyelam selama 10 tahun. Baru setahun terakhir mendapatkan perawatan rutin. Padahal, untuk perawatan dilakukan tiap lima tahun sekali. Untuk memastikan kelayakan komponen di dalamnya. “Meski tidak beroperasi sekalipun hal itu wajib,” ucapnya.
“Ditambah usia kapal selam ini sudah sangat tua,” terangnya. Meski tidak ada usia ideal kapal selam untuk afkir. Selama dilakukan perawatan yang disiplin, penggantian spare part yang usang, dan terus memperbarui teknologi menyesuaikan kapal selam terkini. Kecelakan kapal selam itu sangat bisa dihindari.
Pria yang mulai melakukan penelitian tentang kapal selam sejak 2006 itu menjelaskan, lokasi kejadian itu menurutnya arus di dasar laut cukup kencang. Ditambah, ditinjau letak geografis, terdapat banyak palung dalam membentang sekitar perairan utara Bali. “Ada perbedaan karakteristik dasar laut di sisi timur dan barat Indonesia,” paparnya.
Setelah titik ditemukan, langkah selanjutnya mengangkat kapal selam itu hingga permukaan. Tidak dengan bantuan penyelam, karena batas manusia bisa menahan tekanan di bawah laut sekitar 50 meter. Wisnu mengatakan, proses itu bisa melibatkan robot yang didesain khusus. “Ini yang memakan waktu lama,” imbuhnya. (ekn)