Terpuruknya produksi keripik apel Kota Batu ternyata tak hanya dirasakan satu atau dua pelaku usaha, mikro, kecil, dan menengah (UMKM) saja. Namun, kebanyakan pelaku UMKM olahan keripik apel mengalami nasib serupa.
Seperti diberitakan edisi Selasa (23/3), Dis Way Malang Post menemukan dua produsen keripik apel yang membakar hasil produksinya karena tidak laku dampak pandemi Covid-19. Kali ini, Rabu (24/3) Dis Way Malang Post kembali menemukan olahan keripik apel yang belum laku dijual dan hampir kadaluarsa.
Volumenya hampir dua ton dan masih tersimpan rapi di gudang. Keripik apel itu memiliki kualitas grade 2. Hasil produksi milik Usman Hudi. Produsen keripik apel asal Desa Bulukerto, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu.
“Keripik apel ini mulanya lebih dari dua ton. Sejak satu tahun lalu kami usahakan menjual sedikit demi sedikit. Kami jual dengan harga rugi, sehingga saat ini tinggal tersisa sekitar dua ton dan kondisinya sudah mau kadaluarsa,” jelas Usman kepada DIs Way Malang Post, kemarin.
Menurut dia, keripik apel itu tak kunjung laku. Terlebih saat ini kondisinya sudah diambang batas kadaluarsa, maka kripik apel itu sudah pasti akan dibuang ataupun dibakar. “Karena mau diberikan secara cuma-cuma kepada masyarakat sekitar juga sudah tidak akan ada yang mau. Kecuali jika akan digunakan untuk pakan ternak,” jelasnya.
Dari dua ton keripik apel yang tak kunjung terjual itu, Usman memperkirakan kerugian yang ia derita mencapai Rp 100 juta lebih. Karena untuk satu kilogram (Kg) keripik apel kualitas grade 2 dia jual seharga Rp 60 – Rp 70 ribu. “Untuk membuat satu kilogram keripik apel kami membutuhkan kurang lebih 10 Kg buah apel,” jelasnya.
Usman bercerita, di awal pandemi Covid-19 tahun lalu, ia sempat berhenti memperoduksi keripik apel selama 6 bulan. Setelah itu ia kembali memproduksi keripik apel sedikit demi sedikit dengan kualitas produksi grade satu. “Yang membedakan apel grade satu dengan apel grade dua itu dari segi bentuknya. Keripik apel grade satu memiliki bentuk bulat tak ada cacat. Sedangkan keripik apel grade dua memiliki cacat sedikit dalam bentuknya,” jelasnya.
Selain itu, ia juga menceritakan jika sebelum ada pandemi Covid-19, produksi keripik apelnya dalam satu hari rata-rata bisa mencapai setengah ton. Bahkan jika sedang ramai bisa sampai satu ton produksi dalam satu hari. Namun, selama masa pandemi Covid-19 ini pihaknya sudah jarang memproduksi keripik apel.
“Bahkan dalam waktu 20 hari terakhir ini kami sudah tak memproduksi keripik apel lagi. Itu karena, saat ini kami juga sudah sulit untuk mendapatkan bahan bakunya. Banyak petani apel yang sudah mengabaikan tanamannya hingga buahnya menjadi busuk,” katanya.
Menurutnya, situasi seperti ini banyak petani apel yang mengabaikan tanamannya. “Saat ini apelnya banyak yang busuk, karena tak dirawat secara maksimal. Mau dirawat bagaimana? Ketika dijual harganya sangat rendah. Karena jika diitung, hasil dari penjualan apel, tak cukup untuk biaya perawatan,” tandasnya.(Ananto W-Eka Nurcahyo)