Malang – Pembangunan selama ini faktanya membawa dampak kerusakan. Juga kurang optimalnya kesejahteraan masyarakat. Selalu diberi label berkelanjutan. Dalam bahasa sehari-hari disebut kelestarian. Tapi saat berjalan, justru terjadi perusakan.
Maka, Sustainable Livelihood Approach (SLA) atau Pendekatan Penghidupan Berkelanjutan penting untuk diedukasikan. Ini dilakukan oleh Dial Foundation (DF). Lantaran pandemi covid-19, pesertanya dibatasi. Harapannya, pelatihan ke-5 ini lebih efektif dan optimal hasilnya.
“Selama ini pembangunan selalu diberi label berkelanjutan atau lestari. Tapi kenyataannya, justru terjadi perusakan. Contohnya banyak. Seperti penebangan hutan, penggundulan bukit diganti dengan bangunan. Kayu yang usianya ratusan tahun, hanya ditebang dalam sehari dan baru bisa diganti ratusan tahun ke depan,” ujar Founder Dial Foundation dan Owner Pendopo Kembangkopi Wagir, Pietra Widiadi, Kamis (18/3).
Pietra menuturkan, itu jadinya bukan membangun, tapi merusak. Harapannya, dampak pembangunan adalah hidup sejahtera. Ini cita-cita luhur setiap manusia. “Maka membahas pembangunan tidak harus pada skala besar. Cukup dilakukan pada tingkat kelompok atau desa,” terang alumnus Fisip Universitas Airlangga ini.
Pelatihan Pendekatan Penghidupan Lestari atau bisa disebut membangun hidup lestari, 8-21 Februari 2021 telah dilakukan DF. Menggunakan metode pendampingan, bagi pelaku pembangunan di akar rumput, kelompok dan desa. Agar saat membangun tidak menyebabkan kerugian besar. Tapi mendapat keuntungan berupa kelestarian hidup. Hingga pengertian lestari bisa diletakkan pada upaya membuat alam dan lingkungan menjadi tujuan pembangunan.
Pelatihan ini rutin dilakukan DF di Pendopo Kembangkopi, Dusun Ngemplak, Desa Sumbersuko, Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang. Kali ini Angkatan V. Jumlah peserta kali ini 15 orang. Istimewanya tiga peserta dari Perkumpulan Indonesia Pusaka Gemahripah. Berasal dari Papua, Kalimantan, Sulawesi dan Jawa.
Peserta adalah penggiat dan praktisi pendamping masyarakat desa serta kelompok usaha masyarakat utusan lembaga. Materinya tentang pemahaman wacana pembangunan tingkat desa. Analisa sosial, metode penggalian data dan informasi dalam prinsip partisipasi. Peserta dipahamkan maksud partisipasi. Bukan sekedar kehadiran. Tapi keterlibatan mengambil keputusan.
“Jadi pengertiannya, partisipasi itu kesempatan orang menyampaikan gagasan dan keinginnan untuk hidup secara sejahtera,” imbuh pria yang juga praktisi senior pemberdayaan masyarakat ini.
Manager Pendopo Kembangkopi, Agus Sugiarto yang akrab disapa Sugie menjelaskan. Jumlah peserta yang hanya separuh daya tampung ini, diharapkan lebih intensif dan efektif. Selain kegiatan kelas, kegiatan praktek dilakukan di masyarakat. Belajar bersama masyarakat. Memberikan perspektif baru. Sehingga terjadi partisipasi pengembangan masyarakat yang didampingi.
Pelatihan berlangsung dua seri, selama dua minggu. Selain di Desa Sumbersuko, juga kunjungan ke Desa Ngadas di Lereng Gunung Bromo. Ini studi banding. Terutama terkait pembangunan wisata desa. Agar peserta bisa mencatat perbedaan, kekurangan dan kelebihan apa hingga bisa berkembang dengan lingkungan dan alam yang lestari.
Agenda ini membawa manfaat bagi masyarakat. Karena warga Desa Sumbersuko dan warga desa lainnya yang dikunjungi mendapat sedikit pemasukan. Melalui penyediaan makanan dan penginapan, juga pelayanan yang diberikan.
“Saya bersyukur pelatihan berjalan sukses. Meski ada pembatasan jumlah peserta karena pandemi. Justru diharapkan efektif hasilnya karena peserta terbatas. Kami berharap peserta bisa berkontribusi mensejahterakan warga lewat penerapan SLA di tempat mereka masing-masing,” pungkas Sugie. (san/jan)