APA BOLEH BUAT. Petani di Kabupaten Malang memotong separo saja padinya saat panen. Sisanya dibiarkan supaya tumbuh lagi bulir padi. Cara itu dilakukan karena kelangkaan pupuk urea bersubsidi.
Ada resiko, hasil berikutnya tidak sempurna. Tinggal 40 sampai 50 persen saja. Tapi itu satu-satunya cara menghemat biaya produksi, terutama harga pupuk non subsidi yang hampir tiga kali lipat dari urea subsidi.
Pupuk subsidi seperti barang langka. Sejak pertengahan 2020 hingga sekarang, sulit dicari. Harganya masihberkisar Rp 120.000 per zak (berisi 50 kg). Tapi di mana barang itu? Beda dengan yang non subsidi. Hanya saja harganya Rp 460.000 per zak. Bisa dibayangkan bagaimana efek untuk biaya produksi.
Hitungan biayanya jadi begini; Rp 13 juta – Rp 14 juta per hektare. Isinya 5-6 ton/hektare.
Pada panen raya ini, harga gabah kering hanya Rp 1.800/kg, atau total Rp 9 juta sampai Rp 10 juta saja nilainya. Maka, petani rugi sekitar Rp 3 jutaan. Jadi, panennya dipotong separoh saja, untuk mengurangi biaya.
“Memang produksinya tidak sebagus tanaman awal. Semua ini supaya biaya produksi agak tertolong. Terutama akibat langkanya pupuk urea bersubsidi,” demikian kata Catur, petani padi di Kab Malang.
Kepala Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan (DTPHP) Kabupaten Malang, Budiar Anwar, mengungkapkan, sebenarnya tidak ada kelanggakan pupuk. Hanya distribusinya saja yang belum lancar karena ada transisi mekanisme mendapatkan pupuk bersubsidi yang kini harus melalui kartu tani.
Dulu cukup pakai surat keterangan dari Gapoktannya. Sekarang pakai kartu tani. “Infrastrukturnya dibenahi. Bank BNI juga masih menyosialisasikan, bagaimana penggunaan kartu itu. Memang distribusinya belum lancar. Tetapi barangnya sudah ada. Untuk menebus itu, harus melalui mekanisme yang benar,” jelas Budiar. (Tim DMP-Eka Nurcahyo)