Malang – Hari Perempuan Internasional 8 Maret 2021 dimaknai berbeda oleh Lingkar Sosial Indonesia (Linksos). Diperingati bersama perempuan difabel, orangtua anak berkebutuhan khusus (ABK) dan para pegiat inklusi. Mereka mewarnai Topeng Malangan di Gunung Katu, Desa Wadung, Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang.
“Tak sekedar mewarnai. Kegiatan ini bermaksud membuka peluang kerjasama kemitraan wirausaha bagi difabel dan keluarganya,” papar Ken Kerta, Ketua Pembina Linksos dan pengelola Omah Difabel kepada DI’s Way Malang Post.
Selama dua hari Sabtu-Minggu (6-7/3) hadir sejumlah 24 difabel meliputi 9 lelaki dan 15 perempuan bersama 8 pendamping Kader Posyandu Disabilitas dan relawan.
“Semua difabel dari seluruh ragam disabilitas memiliki kesempatan yang sama dalam kegiatan ini. Tak ketinggalan kawan-kawan OYPMK (orang yang pernah mengalami kusta) dan ODGJ (orang dengan gangguan jiwa),” tambah Ken.
Event kemarin, untuk memberikan semangat dan harapan baru terhadap perempuan difabel yang selama ini mendapatkan stigma ganda dari lingkungannya. Selain itu, mempromosikan produksi souvenir fiber Topeng Malangan sebagai cabang usaha baru Omah Difabel Linksos dan lapangan kerja baru bagi perempuan difabel dan orangtua ABK.
Juga mempromosikan produk-produk lainnya. Seperti keset, telur asin, dompet perca, keripik, masker, hazmat dan lainnya. Acara terdiri dua sesi. Bisa dipilih peserta sesuai kemampuan atau mengikuti keduanya. Yaitu, Nge-camp atau menginap di puncak Gunung Katu (724 mdpl) dan mewarnai souvenir topeng Malangan mini.
Event ini swadaya masyarakat. Mulai dari permodalan awal usaha, konsumsi acara serta transportasi. Ken menegaskan, para perempuan difabel hingga kini belum mendapat kesetaraan kesempatan kerja. Padahal, UU RI Nomor 8/2016 Tentang Penyandang Disabilitas dan regulasi lain, telah mengamanahkan kesetaraan kesempatan kerja.
Faktanya, mereka masih kesulitan memperoleh pekerjaan. Sementara perempuan difabel selama ini mendapat stigma ganda. Pandangan negatif sebagai perempuan sekaligus orang dengan disabilitas. Terlebih disabilitas akibat kusta dan gangguan jiwa.
Stigma berlipat melekat sebagai perempuan dengan disabilitas dan penyakit yang dianggap aib. Diskriminasi pun dialami. Misalnya, dianggap tidak mampu bekerja cepat. Sehingga dibayar murah atau ditolak saat melamar kerja. Perempuan disabilitas juga kerap diragukan dalam mengurus rumah tangga. (san/jan)