CABE –tulisan bakunya; cabai– bukan saja menunjukkan rawitnya, tapi juga rasa pahit, terutama bagi ibu-ibu rumah tangga. Dalam dua minggu terakhir, harganya naik tak terkendali. Semula di kisaran Rp 40 ribu/kg. Kemudian melonjak di kisaran Rp 85 ribu. Kini harga di Malang Raya tidak cuma pedas, tapi juga pahit; tembus Rp 100 ribu/kg. Bahkan di tingkat pengecer tidak sedikit yang Rp 120 ribu/kg.
Penelusuran Di’s Way Malang Post di beberapa pasar tradisional dan super market di Malang Raya, kemarin harga cabai merata di kisaran Rp 100 ribu/Kg. Dampaknya; pedagang di di Pasar Klojen Kota, Pasar Kepanjen, Sumedang, Pasar Sumberpucung dan beberapa di Kabupaten lainnya serta di Pasar Besar Kota Batu, tidak punya stok. Takut fluktuasinya.
Lastri, pedagang di Pasar Sumberpucung, mengaku dalam kondisi normal stok cabe rawitnya 7 kuintal per hari. Kini hanya berani 2 kuintal. Itu pun barangnya didapat dari tengkulak, bukan dari suplier langganannya di Poncokusumo.
“Daya beli masyarakat juga turun. Langganan yang biasanya sekali beli 1 kg, kini turun, hanya beli 0,5 kg,’’ ujarnya.
Kelangkaan dan lonjakan harga ini kemungkinan disebabkan oleh banyaknya petani yang gagal panen. Dampak dari curah hujan yang tinggi akhir-akhir ini.
“Dari luas dua hektare lahan cabe saya, yang dapat dipanen hanya setengah hektare. Jadi, walaupun harga tinggi, kami tetap rugi,” kata Bambang Yudhana, petani asal Desa Ngadas, Kecamatan Poncokusumo, kemarin.
Sementara itu, rumah makan dan restoran dengan menu-menu pedas, berkomitmen tetap mempertahankan brand-nya. Mereka tak ingin mengurangi jumlah cabe, meski harganya gila.
“Untuk tetap menjaga kualitas masakan yang sudah begitu dikenal masyarakat, kami tetap menjaga cita rasa sambal tanpa mengurangi jumlah pemakaian cabe. Salah satu strateginya, kami membeli langsung dari petani atau suplier,” jelas Firman Ferdiansyah, Manager Outlet Rumah Makan Ocean Garden. Firman Ferdiansyah. (Tim DMP-Eka Nurcahyo)
>>>>>Selengkapnya Di Harian Di’s Way Malang Post Edisi Kamis (25/2)