Malang – Prasasti Sangguran merupakan aset bersejarah bagi Kota Batu. Prasasti itu berangka 982 Masehi atau zaman Hindu-Budha. Di prasasti itu juga menyebut sang penguasa daerah; yakni Sri Maharaja Rakai Pangkaja Dyah Wawa Sri Wijayalokanamottungga.
Selain disebut dengan Prasasti Sangguran, prasasti itu juga disebut dengan Prasasti Minto. Karena, berdasarkan cerita sejarah yang berkembang, prasasti itu dihadiahkan oleh Gubernur Jenderal Inggris di Jawa kala itu, Raffles kepada Lord Minto. Keduanya pernah memimpin Hindia Belanda ketika Britania Raya menguasai Belanda sekitar Abad ke-19.
Saat ini Prasasti Sangguran berada di Skotlandia. Bahkan berdasarkan sumber-sumber lain, prasasti itu tak terawat di sana. Prasasti Sangguran ditulis dalam aksara dan bahasa Jawa kuno. Isi pokoknya tentang peresmian Desa Sangguran menjadi sima (tanah yang dicagarkan) oleh Sri Maharaja Rakai Pangkaja Dyah Wawa Sri Wijayaloka Namestungga pada 14 Suklapaksa bulan Srawana tahun 850 Saka (2 Agustus 928 M).
Berawal dari sebuah kekaguman yang bermula dari browsing-browsing, ada sejumlah orang berkeinginan agar prasasti itu kembali ke Indonesia. Namun, hal ini sangat sulit untuk diwujudkan. Salah satu orang yang berkeinginan prasasti itu kembali lagi adalah, Pemangku Sanggar Budaya Sangguran, Dusun Ngandat, Desa Mojorejo, Siswanto Galuh Aji.
Atas dasar keinginan itu, ia bersama sejumlah rekannya membuat replika Prasasti Sangguran. Replika itu dibuat dengan tinggi 160 cm, lebar atas 122 cm, dan tebal 32,5 cm. Pembuatan dimulai bulan November 2020.
Pada Minggu (21/2), replika Prasasti Sangguran telah ditancapkan di Area Punden Mbah Tarminah, Dusun Ngandat, Desa Mojorejo, Kecamatan Junrejo, Kota Batu. “Hari ini merupakan acara melinggihkan replika Prasasti Sangguran. Melinggihkan itu berarti meletakkan, menancapkan, ataupun mendudukkan prasasti. Ini karena, prasasti ituberbentuk lingga dan ada batu yoni sebagai tempat peletakannya,” ujar Siswanto kepada DIs Way Malang Post, Minggu (21/1).
Menurut Siswanto, untuk ritual yang dilakukan dalam peletakan replika Prasasti Sangguran, pihaknya menggunakan ritual Hindu-Budha. Yang istilahnya adalah Hindu Jawi Wisnu. Pada ritual itu, juga dilengkapi sesajen-sesajen yang berbentuk dari hasil karya manusia.
“Contohnya seperti pandai besi serta peralatan-peralatan yang menunjang fungsi dalam hidup dan kehidupan. Jadi adanya alat-alat dalam acara peletakan replika Prasasti Sangguran ini merupakan simbol kebutuhan hidup dan kehidupan,” kata Cak Pentol, sapaan akrab Siswanto.
Meski peletakan menggunakan ritual perpaduan dari Hindu-Budha, penggunaan adat dari budaya Jawa tetap dilakukan. “Pesan yang tersirat disini, meski itu merupakan agama dari luar, tetap harus menggunakan jalan dalam budaya Jawa itu sendiri,” ujarnya.
Ritual itu, sebenarnya merupakan bentuk penghormatan dari dilakukannya penancapan replika Prasasti Sangguran. Dengan tujuan untuk mengucap rasa syukur. Karena, dengan dilakukannya penancapan replika Prasasti Sangguran, ada banyak sekali harapan.
“Salah satunya, harapan akan keselamatan masyarakat dengan adanya virus Covid-19. Karena kondisi dan keadaan saat ini sedang tidak baik. Karena itu, baik dari tata kelola sosial, budaya, dan politik diharapkan bisa selamat semua,” jelas Pentol.
Itu berarti, bukan hanya selamat untuk satu golongan saja. Namun juga diharapkan bisa selamat semuanya. (ano/ekn)