Malang – Tower Crane (TC) atau derek jangkung bergerak. Melintasi kampung Bethek RT 05 RW 06 Penanggungan Klojen. Akhir-akhir ini, jam kerja bisingnya mengerikan, 24 jam. Bikin geleng-geleng, tanpa ada tanda tangan persetujuan warga, pembangunan terus berlangsung. Kok bisa?
Kasus keberatan sejumlah warga atas pembangunan rumah sakit mencuat Rabu (17/2) siang. Di lobby DPRD Kota Malang digelar jumpa pers, seputar pembangunan RS BRI. “Berhenti saja dulu. Sampai ada perundingan lagi dengan warga terdampak. Sudah dua tahun kami berjuang,” ungkap Agus, yang tinggal dekat lokasi pembangunan.
Sire ini, Agus dan warga, mengeluh kepada wartawan. Keberatan itu didukung sejumlah komunitas dan tergabung dalam Solidaritas Bethek Melawan (SBM). Turut peduli pula, BEM FEB dan FH UB, MCW, LBH Pos Malang dan LYMI. Sejumlah poin hasil investigasi disampaikan.
Pertama, tidak ada sosialisasi kepada warga soal penggunaan alat berat dan jam kerja. Kedua, soal perizinan. Ketiga, warga terdampak hanya rapat sekali, 17 Juli 2019. Tak ada pengkajian kompensasi/insentif dan asuransi yang jelas, baik materil maupun immateriil. Warga pun tidak merasa pernah menandatangani soal dampak amdal dan persetujuan pembangunan. Juga tidak pernah dilibatkan rembug dengan DLH.
Rabu (17/2) sore, Di’s Way Malang Post ke lokasi di Jl Mayjend Panjaitan. Ada gang kecil dekat proyek RS. Saat masuk, barulah terlihat kondisinya. Tampak coretan simbol penolakan di tembok warga, “Ngungsi Sumpek”, Tolak RS dan Keberatan Pembangunan RS yang ditulis diterpal besar depan rumah. Tidak semua memang terlihat menyuarakan aspirasinya.
Di timur bawah kampung, sejumlah rumah sudah kosong. Beberapa memilih bertahan karena cukup jauh dari proyek. Tampak pekerja proyek mengecek kondisi plengsengan berlubang. Di sisi selatan, ada 16 lebih rumah terdampak. Ada 2 – 4 rumah yang berdempetan langsung dengan proyek berbatas tembok. Dua rumah atau lebih, retak-retak. Warganya, ngungsi. Alat berat bergerak di atas puluhan bangunan warga lain. Di tiap rumah nyaris ada lansia dan anak-anak kecil. Cukup menegangkan berada di bawah crane ini. Sesekali ibu-ibu setempat melihatnya.
“Rumah ini kosong Mas. Ibu ini sudah ngungsi. Dulu dikontrakkan,” cerita seorang warga. Soal kebisingan pembangunan, sudah mulai awal tahun. Sekarang pembangunan mencapai sekitar 40 % dan tahap pengecoran.
“Suaranya mirip vaccum cleaner dekat telinga. Dulu pernah berhenti pukul 22.00. Sekarang sampai pagi. Maghrib kadang berhenti. Subuh tidak sama sekali,” sebut seorang warga. Soal bisingnya pembangunan, bahkan membuat warga vertigo. Depresi setiap hari mendengar suara mesin dan gaduh, kadang membuat warga emosi. Tidak sekali dua kali warga minta mandor proyek menghentikan pekerjaan karena sudah malam.
Menurut warga enggan disebut namanya, sejak dipakai tower crane dan pemasangan paku bumi, permasalahan berkembang. Pertemuan dengan pengelola dan konsultan, tidak pernah dibahas proses pembangunan. Termasuk penandatanganan persetujuan. Selama tiga bulanan pemasangan paku bumi di 280 titik itu, warga resah. Apalagi jika ada warga yang sakit. Mau tidur siang nan nyenyak kemana lagi. Proses sekolah daring anak-anak juga terganggu.
“Kami tidak pernah menandatangani persetujuan itu. Tidak pernah diajak rundingan dengan DLH. Dulu memang pernah tanda tangan, tiga lembar. Tapi tidak jelas buat apa,” sebut warga terdampak. (san/jan)